TATA
LAKSANA SHALAT JUM’AT
A. Pendahuluan
Ibadah Jumat
terdiri dari :
1. Dua khutbah Jum’at
2. Dua
raka’at shalat Jum’at
B. Hukum Shalat Jum’at
Shalat Jum’at
hukumnya wajib ‘ain dengan ijmak ulama dan berdasarkan firman Allah, berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ
مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.(Q.S. al-Jum’at : 9)
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Laki-laki
5. Merdeka (bukan
hamba sahaya)
6. Bermuqim (tidak
dalam keadaan musafir)
CatatanOrang yang tidak wajib melaksanakan shalat Jumat, harus
melaksanakan shalat dhuhur sebagai gantinya, kecuali orang gila. Namun, apabila mereka ikut shalat Jum’at, shalatnya
sah sebagai ganti dhuhur
D. Syarat –Syarat Sah Jum’at
1. Dalam waktu dhuhur
2. Dilakukan dalam kawasan yang ada perumahan yang sifatnya
tidak sementara
3. Tidak didahulu Jum’at lain dalam kawasan tersebut, karena
tidak boleh ada dua Jum’at atau lebih dalam satu kawasan kecuali karena
kesukaran
4. Berjama’ah
5. Jum’at itu didirikan oleh empat puluh laki-laki baligh
berakal, merdeka dan menetap di suatu kawasan tidak ada cita-cita untuk
berpindah ketempat dalam keadaan apapun kecuali karena dharurat.
Kunjungi : Http: kitab.kuneng.blogspot.com
E. Rukun-Rukun Khutbah Jum’at
Salat Jum’at diawali dengan khutbah Jum’at yang dapat dilakukan oleh imam salat atau oleh orang lain. Khutbah terbagi dua ; khutbah pertama dan khutbah kedua yang dipisah dengan duduk sebentar. Dalam kitab Minhaj al-Thalibin[3][3] karangan al-Nawawi disebutkan isi khutbah harus mengandung lima egara rukun berikut:
1. Memuji Allah, sekurang-kurangnya :
الْحَمْد ِللهِ
2. Membaca shalawat kepada Nabi SAW, sekurang-kurangnya :
والصلاة عَلى رسول الله
3. Berwasiat atau berpesan pada jamaah agar bertakwa,
sekurang-kurangnya :
اطيعوا
الله
4. Membaca ayat Al Quran pada salah satu dari dua khutbah.
5. Berdo’a untuk orang yang beriman dengan segala hal yang
bersifat ukhrawi (keakhiratan), namun boleh dicampur dengan urusan duniawi pada
waktu khutbah kedua. Memadai doa tersebut dengan misalnya :
رحمكم الله
Contoh Lafazh Khutbah Jum’at
pertama secara sempurna
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
و مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ
عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى
يَوْمِ الدّيْن
اما بعد, يَاأَيّهَا
الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
بسم الله الرحمن الرحيم.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
بَارَكَ اللهُ
لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ
مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
أَقُوْلُ
قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ
مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Contoh Lafazh Khutbah Jum’at kedua secara sempurna
إِنّ الْحَمْدَ
ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَلِيُّ
الصَّالِحِينَ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا خَاتَمُ الأَنْْْبِيَاءِ
وَالْمُرْسَلِينَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ., أَمَّا بعد ياايها الناس اوصيكم واياي بتقوى الله
وطاعته لعلكم تتقون
بسم الله الرحمن الرحيم.
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ
الدّعَوَاتِ. رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ
أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ
مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ
عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى
الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين
F. Sunnat-Sunnat Jum’at
1. Mandi,
waktunya mulai terbit fajar. Yang utama dekat dengan waktu pergi Jum’at
2. Pergi
ke Jum’at lebih awal
3. Berjalan
kaki ke Jum’at
4. Banyak
berzikir dan qiraah pada waktu pergi dan sesudah berada di mesjid sebelum
khutbah
5. Tidak
melangkahi bahu orang dalam mencapai shaf
6. Menggunakan
baju yang bagus, sebaiknya warna putih
7. Memotong
kuku
8. Menghilangkan
bau tidak sedap
9. Memperbanyak
membaca Surat al-Kahfi, malam dan siangnya
G. Yang Haram dengan Sebab Jum’at
Jual beli atau akad lainnya sesudah azan saat
khatib di atas mimbar. Adapun sebelum itu makruh
1. Rukun-rukun khutbah tersebut dalam Bahasa Arab
2. Dalam waktu Dhuhur
3. Berdiri jika mampu
4. Duduk antara dua khutbah, kalau khutbah sambil duduk, maka
wajib diselang dua khutbah itu dengan diam sebentar
5. Memperdengarkan kepada ahli Jum’at
6. Muwalaat (berturut-turut)
7. Suci dari hadats dan najis
I. Sunnat-Sunnat Khutbah
1. Menyimak khutbah (tidak berbicara), berdasarkan firman Allah
berbunyi :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ
وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : Dan apabila dibacakan Al Quran, maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat (Q.S. al-A’raf : 204)
Perintah dalam
ayat ini bermakna sunnat, bukan wajib karena berpedoman dengan hadits riwayat
Baihaqi dengan isnad shahih dari Anas berbunyi :
ان رجلا دخل والنبي صلى الله عليه و
سلم يخطب يوم الجمعة فقال متى الساعة فأومأ الناس إليه بالسكوت فلم يقبل واعاد
الكلام فقال النبي صلى الله عليه و سلم في الثالثة ماذا أعددت لها قال حب الله
ورسوله قال انك مع من احببت
Artinya : Seorang laki-laki masuk masjid,
sedangkan Nabi SAW sedang berkhutbah pada hari Jum’at. Laki-laki itu bertanya :
“Kapan terjadi kiamat ? ”. Manusia mengisyaratkan padanya untuk diam, tetapi
dia tidak mau menerimanya, bahkan mengulangi lagi pertanyaannya, maka Nabi Saw
bersabda : “Apakah kamu sudah bersiap-siap untuknya ? “.laki-laki itu menjawab
: “Mincintai Allah dan Rasul-Nya.” Nabi SAW melanjutkan, “Sesungguhnya kamu bersama
orang-orang yang kamu cintai.” (H.R. Baihaqi)
2. Khutbah di atas mimbar atau tempat yang tinggi
3. Memberi salam ketika sudah di atas mimbar
4. Duduk sesudah egara salam
5. Muazzin melakukan adzan sesudah khatib egara salam
6. Isi khutbah pendek mudah dipahami
7. Khatib tidak berpaling kiri atau kanan
8. Memegang tongkat, pedang atau yang semisalnya
J. Niat Shalat Jum’at
Selesai khutbah,
tiba waktunya salat Jum’at. Lafazh niatnya sebagai berikut:
1. Niat shalat Jum’at bagi makmum:
أُصَلِّي
فَرْضَ الُجْمَعةِ رَكْعَتَيْن أَدَاءً مُسْتَقْبِلَ الِقبْلَةِ مَأمُومًا ِللهِ
تَعاليَ
b. Niat shalat Jum’at bagi Imam:
أُصَلِّي فَرْضَ الُجْمَعةِ رَكْعَتَيْن أَدَاءً مُسْتَقْبِلَ الِقبْلَةِ إمَامًا ِللهِ تَعاليَ
1. Bagi makmum yang
ketinggalan satu rakaat shalat Jum’at (makmum masbuq), maka dia cukup menambah
satu rak’at yang ketinggalan setelah imam mengucapkan salam.
2. Bagi yang ketinggalan dua raka’at dan Cuma kebagian sujud
atau duduk tahiyat bersama imam, maka harus menyempurnakan empat raka’at
seperti layaknya shalat dhuhur.
3. Bagi yang ketinggalan shalat Jum’at sama sekali, maka harus
mengganti dengan shalat dhuhur
Dasarnya adalah
atsar Sahabat Nabi :
قالوا من أدرك
ركعة من الجمعة صلى إليها أخرى ومن أدركهم جلوسا صلى أربعا وبه يقول سفيان الثوري وابن المبارك
والشافعي وأحمد وإسحق
Artinya : Mereka mengatakan
barangsiapa yang mendapati satu raka’at dari Jum’at, maka hendak menambah yang
lain kepadanya dan barangsiapa yang mendapatinya dalam keadaan duduk, maka
hendak shalat empat raka’at. Ini termasuk pendapat Sufyan al-Tsury, Ibnu
al-Mubarak, Syafi’I, Ahmad dan Ishaq (R. Turmidzi)[7]
L. Masalah-Masalah yang Sering diperselisihkan
hukumnya di Sekitar Shalat Jum’at
1).
Masalah
Bilangan Jum’at
Telah terjadi perbedaan pendapat para ulama
mengenai jumlah ahli jum’at yang menjadi persyaratan sahnya shalat jum’at.
Menurut pengarang Kitab I’anah al-Thalibin,[8][8] terdapat
empat belas pendapat mengenai jumlah ahli jum’at yang menjadi persyaratan
shalat jum’at, yaitu :
1. Empat
puluh orang termasuk imam, menurut pendapat yang muktamad dalam mazhab Syafi’i.
Pendapat ini juga merupakan pendapat Umar bin Abdul Aziz, riwayat lain dari
Ahmad bin Hanbal dan Ishaq.[9][9]
2. Satu orang,
menurut hikayah Ibnu Hazmi
3. Dua orang, sama
halnya dengan persyaratan jama’ah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Nakh’i dan
ahlu Zhahir
4. Tiga orang selain
imam, menurut Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsury
5. Dua
orang selain imam, menurut Abu Yusuf, Muhammad dan al-Laits
6. Tujuh
orang, menurut Ikramah
7. Sembilan
orang, menurut Rabi’ah
8. Dua belas
orang, menurut satu riwayat dari Rabi’ah dan menurut Malik
9. Dua belas orang
selain iman, menurut Ishaq
10. Dua puluh
orang, menurut riwayat Ibnu Habib dari Malik
11. Tiga puluh
orang, juga menurut riwayat Ibnu Habib dari Malik
12. Lima puluh
orang, menurut satu riwayat dari Ahmad dan Umar bin Abdul Aziz
13. Delapan puluh
orang, menurut al-Maziry
14. Jama’ah yang
banyak tanpa batasan tertentu
Dalam Umairah disebutkan,
Abu Hanifah dan qaul qadim Syafi’i membolehkan shalat jum’at dengan satu imam
dan dua makmum.[10][10] Al-Bakri
al-Damyathi dalam Taqrir I’anah al-Thalibin menjelaskan bahwa dalam qaul qadim
Syafi’i ada qaul yang menyatakan sekurang-kurang ahli Jum’at adalah empat
orang. Qaul ini dihikayah oleh pengarang Talkhis dan pengarang Syarah
al-Muhazzab serta telah dipilih oleh al-Muzni dan ditarjih oleh Abu Bakar ibn
Munzir. Al-Suyuthi juga memilih qaul ini, karena menurut beliau, qaul ini
merupakan qaul Syafi’i yang didukung oleh
dalil. Disamping itu, termasuk dalam qaul qadim adalah pendapat yang
menyatakan ahli Ju’mat adalah dua belas orang.[11][11]
Adapun dalil-dalil penetapan ahli
Jum’at, sekurang-kurangnya empat puluh orang, antara lain hadits riwayat Abdurrahman bin Ka’ab
bin Malik dari bapaknya Ka’ab bin Malik,
أنه كان إذا سمع النداء يوم الجمعة ترحم على أسعد بن زرارة فقلت له إذا
سمعت النداء ترحمت لأسعد قال لأنه أول من جمّع بنا في هزم النَبيتِ من حَرّة بني
بَياضةَ في نَقيع يقال له نقيع الخَضِمات قلت له كم كنتم يومئذ قال أربعون
Artinya : Sesungguhnya
Ka’ab bin Malik apabila mendengar azan pada hari Jum’at, mendo’akan rahmat
untuk As’ad bin Zararah. Karena itu, aku bertanya kepadanya : “Apabila
mendengar azan, mengapa engkau mendo’akan rahmat untuk As’ad ? Ka’ab bin
Zararah menjawab : “As’ad adalah orang pertama yang mengumpulkan kami shalat
Jum’at di sebuah perkebunan di Desa Hurah Bani Bayadhah pada sebuah lembah yang
disebut dengan Naqi’ al-Khashimaat. Aku bertanya padanya : “Kalian berapa orang
pada saat itu ?” Beliau menjawab : “Empat puluh orang.” (H.R. Abu Daud, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Berkata Baihaqi : hadits hasan dengan isnad
sahih)[12]
Berkata
Hakim : “Hadits ini shahih atas syarat Muslim.”[13]
Jalan pendalilian
dengan hadits ini dikatakan, Ijmak ulama keabsahan shalat Jum’at harus dengan
memenuhi persyaratan bilangannya. Maka tidak sah shalat Jum’at kecuali dengan
bilangan yang ditetapkan syara’(tauqif). Berdasarkan
hadits di atas, Jum’at boleh dilakukan dengan bilangan empat puluh orang. Maka
tidak boleh mendirikan Jum’at dengan bilangan yang kurang dari itu kecuali ada
dalil yang menjelaskannya. Sedangkan hadits Rasulullah SAW menerangkan :
صلوا كما
رأيتموني أصلي
Pendalilian
seperti ini telah disebut oleh Ibnu Mulaqqan dalam Badrul Munir.[15][15] Keterangan bahwa pada
jum’at tidak boleh tidak dari bilangan jum’at, juga dikemukakan oleh
al-Suyuthi.[16][16] Jalan pendalilian lain disebut
oleh al-Khithabi al-Busty, yaitu : Jum’at yang terjadi pada kisah hadits di
atas merupakan Jum’at kali pertama dalam sejarah Islam. Oleh karena
itu, semua keadaannya menjadi wajib pada Jum’at, karena hal itu merupakan
penjelasan (bayan) atas mujmal yang wajib. Sedangkan bayan mujmal yang
wajib adalah wajib.[17][17]
Hadits-hadits lain yang mendukung antara lain :
2. Hadits dari
Jabir, beliau berkata :
مضت
السنة أن في كل أربعين فصاعدا جمعة
Artinya
: Sudah berlaku sunnah bahwa pada setiap empat puluh orang dan selebihnya boleh
dilaksanakan shalat Jum’at.(H.R. al-Darulquthni)[18]
Hadits
ini juga diriwayat oleh Baihaqi.[19]
3. Hadits dari Abu
al-Darda’, beliau berkata :
ان رسول الله صلعم قال إذا اجتمع أربعون رجلا فعليهم الجمعة
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Apabila berkumpul
empat puluh orang laki-laki, maka wajib atasnya shalat Jum’at.”[20]
4. Hadits dari Abu Umamah, beliau
berkata :
أن النبي صلعم قال لا جمعة الا باربعين
Artinya
: Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Tidak ada Jum’at kecuali dengan empat puluh
orang.”[21]
5. Hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata :
جمعنا
رسول الله صلعم نحن أربعون رجلا
Artinya
: Kami shalat Jum’at bersama Rasulullah SAW, kami waktu itu empat puluh orang (H.R.
Baihaqi)[22]
6. Al-Raqi
mengatakan :
أتانا كتاب عمر بن عبد العزيز إذا بلغ
أهل القرية أربعين رجلا فليجمعوا
Artinya
: Datang kepada kami surat dari Umar bin Abd al-Aziz, “Apabila penduduk suatu
egara sampai empat puluh orang laki-laki, maka hendaklah melakukan jum’at.”
(H.R. Baihaqi)[23]
Berikut ini beberapa hadits mengenai bilangan Jum’at yang digunakan
untuk menolak pendapat bahwa bilangan Jum’at haruslah empat puluh orang dengan
disertai penjelasan kualitas hadits tersebut, antara lain :
7. Hadits Nabi SAW :
على
خمسين جمعة ليس فيما دون ذلك
Artinya
: Kewajiban Jum’at atas lima puluh orang, tidak dibawah itu.(H.R. Baihaqi
dan Darulquthni)[24]
2. Hadits riwayat Ummul Abdullah al-Dausiyah,
berkata :
قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم الجمعة واجبة على كل قرية وإن لم يكن فيها إلا أربعة
Artinya : Rasulllah SAW bersabda ; “Jum’at wajib atas setiap
egara, meskipun tidak ada pada perkampungan itu kecuali empat orang.”(H.R.
Darulquthni)
Hadits ini diriwayat oleh Mu’awiyah
bin Sa’id al-Tajibi dari al-Zahry dari Ummul Abdullah al-Dausiyah.
Darulquthni mengatakan : “Tidak sah ini dari al-Zahri.”[26]
Dalam mensyarah hadits di atas, Abady Abu
al-Thaib mengatakan :
“Hadits
ini dikeluarkan oleh Darulquthni dalam tiga jalur, (maksudnya, ini yang pertama
dan setelah ini adalah dua dan tiga) semuanya dha’if,”[27]
8. Dalam riwayat lain, Ummul Abdullah al-Dausiyah mengatakan :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
الجمعة واجبة على كل قرية فيها إمام وإن لم يكونوا إلا أربعة
Artinya : Berrsabda Rasulullah SAW
: “Jum’at wajib atas setiap perkampungan yang ada imam, meskipun tidak ada pada
perkampungan itu kecuali empat orang.” (H.R. Darulquthni)
Hadits ini
diriwayat oleh Walid bin Muhammad dari al-Zahri dari Ummul Abdullah al-Dausiyah. Darulquthni mengatakan :
“Walid
bin Muhammad al-Muqiri matruk (ditinggalkan). Tidak sah ini dari al-Zahri dan
setiap orang yang meriwayat darinya adalah matruk (ditinggalkan).”[28]
9. Dalam riwayat lain lagi,
Ummul Abdullah al-Dausiyah
mengatakan :
سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول الجمعة واجبة على أهل كل قرية
وإن لم يكونوا إلا ثلاثة رابعهم إمامهم
Artinya
: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Jum’at wajib atas penduduk setiap
perkampungan, meskipun tidak ada mereka kecuali tiga orang, dimana yang keempat
dari mereka adalah imam.”(H.R. Darulquthni)
Hadits
ini diriwayat al-Hukm bin Abdullah bin Sa’ad dari al-Zahri dari Ummul Abdullah
al-Dausiyah. Setelah meriwayat hadits ini,
Darulquthni mengatakan :
“Al-Zuhri tidak sah mendengar dari al-Dausiyah.”[29]
2). Masalah Adzan sebelum Shalat Jum’at
Adzan Jum’at pada masa Rasulullah adalah 1 kali, adapun pelaksanaan
adzan dua kali pada shalat jum’at ini di temukan riwayatnya pada zaman Khalifah
Ustman bin Affan Ra, karena pengaruh lingkungan seperti makin ramainya jumlah
penduduk dan segala aktifitas penduduk semakin padat dan sibuk, yakni seperti
perdagangan yang tumbuh dan berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan
zaman. Dengan demikian azan dua kali diperbolehkan apabila keadaan memang
membutuhkannya.
3). Membaca Innallaha
wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi sebelum khutbah Jum’at
Imam Ar-Ramli ditanyai tentang seorang yang
maju keluar didepan khatib, berkata ayat; Innallah wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi, apakah itu asal pada sunnah dan
ada diperbuat dihadapan Nabi SAW sebagaimana dilakukan sekarang atau ada
diperbuat oleh salah seorang Sahabat Nabi atau Tabi’in semoga ridha Allah untuk
mereka, dengan sifat-sifat tersebut ? Imam Ar-Ramli menjawab :
“
Bahwa yang demikian itu tidak asal pada sunnah dan tidak diperbuat dihadapan
Nabi SAW bahkan Rasulullah tidak terburu-buru ke mesjid pada hari Jum’at
sehingga berkumpul manusia. Maka apabila manusia telah berkumpul, Beliau keluar
sendiri tanpa orang yang egar bersuara keras dihadapannya. Apabila masuk
mesjid, beliau egara salam kemudian apabila naik mimbar, beliau menghadap
manusia dengan wajahnya seraya egara salam, kemudian duduk dan Bilalpun
melakukan azan. Apabila sudah selesai dari azan, Beliau berdiri berkhutbah
tanpa pemisahan antara azan dan khutbah, tidak dengan atsar dan tidak dengan
khabar dan juga tidak dengan lainnya. Demikian juga keadaan para khalifah yang
tiga sesudahnya. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bahwa sesungguhnya ini adalah
bid’ah tetapi bid’ah hasanah. Maka pembacaan ayat yang mulia merupakan
pemberitahuan dan menggemarkan mendatangkan shalawat kepada Nabi SAW pada ini
hari (jum’at) hari yang mulia yang dituntut memperbanyak shalawat. Membaca
khabar sesudah azan dan sebelum khutbah dapat mengingatkan mukallaf untuk
menjauhi kalam yang haram atau makruh pada ini waktu berdasarkan ikhtilaf ulama
tentang ini. Sesungguh Rasulullah SAW mengatakan khabar ini atas mimbar pada
saat khutbahnya”[30]
4). Menggunakan Tongkat dalam Khutbah
Sunnah hukumnya
memegang tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah. Dalilnya
sebagai berikut :
الحكم
بن حزن رضي الله عنه قال " وفدت الي النبي صلي الله عليه وسلم فشهدنا معه
الجمعة فقام متوكئا علي قوس أو عصي فحمد الله وأثنى عليه كلمات خفيفات طيبات
مباركات
Artinya : Al-Hakm bin Hazn r.a. berkata, Aku tiba kepada Nabi SAW,
kami bersama beliau melakukan ibadah Jum’at, beliau berdiri bertongkat atas
busur atau tongkat, maka beliau memuji Allah dan menyanjungi-Nya dengan
kalimat-kalimat yang ringan, baik dan penuh berkat. (H.R. Abu Daud dan
lainnya dengan sanad hasan)[31]
5). Shalat Jum’at bertepatan dengan
shalat hari raya
Para ulama berbeda pendapat mengenai egar
shalat Jum’at yang bertepatan dengan Shalat Raya. Syafi’I dan pengikutnya
berpendapat jatuh hari raya pada hari Jum’at tidak menghilangkan kewajiban
Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk yang ada sekitar mesjid
(penduduk balad). Pendapat ini juga merupakan pendapat Usman bin Affan, Umar
bin Abdul Aziz dan jumhur ulama. Itha’ bin Abi Ribaah berpendapat atas penduduk
balad maupun penduduk dusun tidak wajib shalat Jum’at, shalat Dhuhur dan
lainnya kecuali shalat ‘Ashar pada hari tersebut. Menurut Ibnu Munzir pendapat
ini juga merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Zubair. Ahmad
mengatakan gugur shalat Jum’at atas penduduk balad
maupun penduduk dusun, tetapi wajib atas mereka shalat Dhuhur. Abu Hanifah
berpendapat Jum’at tidak gugur sama sekali, baik atas penduduk balad maupun
penduduk dusun.[32][32]1
Pendapat Abu Hanifah ini juga merupakan pendapat sebagian ulama dari kalangan
Syafi’I yang masuk dalam katagori dha’if.[33][33]
Sebagimana
disebut di atas, menurut Mazhab Syafi’I bertepatan hari raya pada hari Jum’at
tidak menghilangkan kewajiban Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk
yang ada sekitar mesjid (penduduk balad). Adapun penduduk yang dusun (ahlu
qura) yang jauh dari mesjid diberikan keringan tidak melakukan shalat Jum’at
pada hari itu.[34][34]
Tidak menggugurkan jum’at yang bertepatan dengan hari raya karena dhahir firman
Allah Q.S. al-Jum’at : 9 berlaku kapan saja dan dengan keadaan bagaimana saja.
Ayat tersebut berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ
مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya
: Hai orang-orang beriman, apabila egara untuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.(Q.S. al-Jum’ah : 9)
Dua
hadits di bawah ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa
shalat hari raya menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila hari raya
bertepatan dengan hari Jum’at, yaitu antara lain :
10. Hadits Nabi SAW
عن إياس بن أبي رملة الشامي قال شهدت
معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال
أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم عيدين اجتمعا في يوم ؟ قال نعم قال فكيف صنع ؟ قال صلى العيد ثم رخص في الجمعة فقال " من شاء أن يصلي فليصل
أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم عيدين اجتمعا في يوم ؟ قال نعم قال فكيف صنع ؟ قال صلى العيد ثم رخص في الجمعة فقال " من شاء أن يصلي فليصل
Artinya : Dari Iyaas bin Abi Ramalah
al-Syami, beliau berkata aku telah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan
bertanya kepada Zaid bin Arqam, Mu’awiyah berkata : “Apakah engkau ada
menyaksikan pada masa Rasulullah SAW berhimpun dua hari raya pada satu hari ?
Zaid bin Arqam menjawab : “ya”. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi : “Bagaimana
yang dilakukan Rasulullah ? “Rasulullah melakukan shalat hari raya dan
membolehkan tinggal shalat Jum’at” jawab Zaid bin Arqam. Maka berkata Mu’awiyah
: “Barangsiapa yang menginginkan shalat, maka hendaknya dia shalat”. (H.R. Abu Daud)[35]
11. Hadits
Nabi SAW
قد اجتمع في يومكم هذا عيدان فمن شاء
أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون
Artinya
: Sesungguhnya pada hari ini telah berhimpun dua hari raya. Barang siapa
yang menginginkan, maka memadai untuk Jum’at. Tetapi sesungguhnya kami
melaksanakan Jum’at. (H.R. Abu Daud) [36]
Untuk menjawab pendalilian ini, kita jelaskan dulu bagaimana
keadaan masjid pada zaman Rasulullah. Pada zaman beliau masjid jami` (masjid
besar yang digunakan untuk shalat jum`at) hanya ada di pusat kota Makkah atau
Madinah, sedangkan yang di desa-desa/pedalaman hanya ada masjid-masjid kecil,
atau sering disebut mushalla, yang tidak mampu menampung jumlah besar jamaah
yang egara untuk shalat jum`at atau shalat Ied. Oleh karena itu, masyarakat
yang tinggal di desa/pedalaman bila ingin melaksanakan shalat Jum`at atau Ied,
mereka pergi ke masjid besar, atau yang sering disebut masjid jami’. Mereka
memerlukan perjalanan yang cukup meletihkan untuk pergi ke masjid jami`
tersebut. Suatu ketika hari raya bertepatan jatuh pada hari jum`at. Ini yang
menyebabkan orang-orang yang tinggal di desa merasa kerepotan, karena harus
pergi ke masjid jami’ dua kali dalam sehari, padahal perjalanan yang ditempuh
terkadang cukup jauh. Bila mereka harus menunggu di masjid sampai waktu jum`at,
tentu itu terlalu lama bagi mereka. Meskipun begitu sebagian sahabat yang dari
pedalaman, ada yang berusaha menunggu di masjid jami’ sampai datangnya waktu
jum`at. Sebagian lain ada yang kembali ke desa dan kembali lagi waktu shalat
Jum’at. Melihat keadaan yang seperti ini, Rasulullah memberikan keringanan
kepada penduduk yang tinggal di desa untuk pulang ke desa tanpa perlu balik
lagi ke mesjid jami’ untuk melaksanakan shalat Jum’at pada hari raya. Dengan
demikian dua hadits di atas tidak dapat menjadi dalil menggugurkan kewajiban
shalat Jum’at apabila bertepatan dengan shalat hari raya.
6). Masalah I’adah Dhuhur
I’adah Dhuhur adalah melakukan shalat dhuhur sesudah selesai
shalat Jum’at karena shalat Jum’at ternyata tidak sah atau dikuatirkan tidak
sah. I’adah shalat Dhuhur ini yang biasanya dilakukan oleh kalangan pengikut
Mazhab Syafi’I kalau dirincikan dilakukan dengan beberapa sebab, antara lain :
- Jumlah jama’ah Jumat kurang dari 40 orang
Karena itu, kalau jama’ah tetap berpegang kepada pendapat
yang rajih dari Syafi’I bahwa ahli Jum’at harus 40 orang, maka apabila kurang,
wajib i’adah Dhuhur dan kalau berpegang kepada qaul qadim Syafi’I (pendapat
dhaif dalam Mazhab Syafi’i) memadai 4 orang, maka i’adah Dhuhur sunnat
hukumnya, untuk ihtiyath (hati-hati)
- Jumlah masjid yang menyelenggarakan shalat Jum’at di desa tersebut lebih dari satu masjid dengan tanpa egara dharurat. Pada saat itu, Jum’at yang sah hanya Jum’at yang lebih duluan takbiratul ihramnya
Karena itu, apabila dipastikan, diduga (dhan)
atau diragukan lebih duluan takbiratul ihram Jum’at lain, maka wajib i’adah
Dhuhur [37]
7). Menyelangi Wasiat dengan Bahasa Non Arab
Ahli fiqh selain Mazhab Hanafi sepakat
mensyaratkan rukun khutbah dibaca dalam bahasa Arab.[38][38] Ini tidak menjadi persoalan di saat
khutbah Jum’at tersebut diucapkan untuk ahli Jum’at yang mengerti Bahasa Arab.
Namun akan menjadi persoalan disaat khutbah tersebut diperuntukkan kepada ahli
Jum’at yang tidak mengerti Bahasa Arab seperti di Indonesia dan egara-negara
Islam non Arab lainnya. Padahal diharapkan dari khutbah trsebut menjadi wadah
mengajak umat Islam untuk meningkatkan pengamalan agamanya. Untuk menjawab
persoalan tersebut, umat Islam dunia dewasa ini dalam prakteknya memberikan solusi
dengan memberikan ceramah agama dalam Bahasa non Arab (bahasa setempat) yang
mudah dimengerti oleh ahli Jum’at setempat dengan tiga model, yakni :
1. Melakukan
ceramah dalam Bahasa non Arab (bahasa setempat) sebelum masuk dua khutbah yang
berbahasa Arab (ini biasa dilakukan oleh kalangan mazhab Syafi’I di Indonesia)
2. Melakukan
khutbah dalam Bahasa Arab secara sempurna, kemudian baru melakukan ceramah
dalam bahasa non Arab (bahasa setempat)
3. Melakukan
ceramah dalam Bahasa non Arab (bahasa setempat) di antara rukun –rukun khutbah,
yaitu setelah rukun wasiat. (Ini biasa dilakukan oleh kalangan modernis di
Indonesia)
Model kedua dan ketiga ditolak
dilakukannya oleh kebanyakan kalangan mazhab Syafi’I di Aceh dan Indonesia pada
umunya, karena dengan beralasan khutbah seperti itu menjadi batal menurut fatwa
ulama-ulama mu’tabar dalam mazhab Syafi’I, dimana berdasarkan fatwa ulama
Mazhab Syafi’I, ada kewajiban muwalaat (berturut-turut) antara rukun-rukun
khutbah dan antara khutbah dan shalat Jum’at. Ukuran muwalaat ini dikembalikan
kepada ‘uruf. Menurut Imam ar-Rafi’i (salah seorang ulama terpengaruh dalam
mazhab Syafi’i dan pendapatnya dianggap sebagai pendapat mu’tamad), ukuranya
adalah sama dengan ukuran muwalaat shalat jamak[39][39] (yaitu ukuran dua raka’at sederhana).
Adapun masalah menyelangi dengan nasehat agama dalam bahasa non Arab antara
rukun-rukun khutbah apabila dalam ukuran yang lama, maka itu dapat
menghilangkan muwalaat menurut Imam Ramli karena sama dengan diam yang lama.
Sedangkan menurut ‘Ali Syibran al-Malusi berpendapat muwalaat tidak hilang
meskipun dalam ukuran lama, karena nasehat agama dalam bahasa non Arab meskipun
dalam ukuran lama, secara umum masih dalam katagori wasiat.[40][40] Pendapat Imam Ramli dianggap lebih
rajih
[1][1]
Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 268
[1][2] Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 271-277
[3][3] Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 277-278
[3][4]
Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 283-289
[4][5] Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 278-281
[6][6]
Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 280-283
[6][7]
Turmidzi, Sunan
al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 402
[8][8] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah
al-Thalibin, Thaha Putra, SEmarang, Juz. II, Hal. 57. Lihat juga
al-Suyuthi, al-Hawi lil-Fatawi , Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
Juz. I, Hal. 66
[9][10] Umairah, Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah,
Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 274
[11][11] Al-Bakri al-Damyathi,
Taqrir I’anah al-Thalibin, dicetak pada hamiys I’anah
al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 58-59
[12][12] Ibnu Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ila
adallah al-Minhaj, Juz. I, Hal. 494. Lihat juga Baihaqi, Sunan
al-Baihaqi, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 177, No. Hadits
: 5396
[13][14] Baihaqi, Sunan Baihaqi,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 345, No. Hadits : 3672
[19][19] Baihaqi, Sunan al-Baihaqi,
Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 177, No. Hadits : 5397
[22][23] Baihaqi, Sunan al-Baihaqi,
Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 178
[28][29] Darulquthni, Sunan Darulquthni,
Darul Makrifah, Beirut, Juz. II, Hal. 9
[30][30] Imam Ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, dicetak
pada hamisy al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal.
276-277
[30][31] Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 526
[34][35] . Abu Daud, Sunan Abu Daud,
Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 348, No. Hadits 1070
[36][37] Lihat Amin
al-Kurdy, Tanwirul Anwar, Thaha Putra, Semarang, Hal. 177-178 dan
I’anah al-Thalibin, Juz. II, Bab Jum’at
[38][38]
Abdurrahman
al-Jaziry, Al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Hakikat Kitabevi,
Istambul, Juz. II, Hal. 71
[38][39]
Qalyubi, Hasyiah
Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I,
Hal. 281
[40][40] Syarwani, Hasyiah
‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II,
Hal. 450