بسم الله الرحمن الحيم
Sakit itu bisa jadi ladang pahala buat kita, sakit bisa juga peringatan dari Alloh SWT, atau bisa juga ujian buat orang orang yang sabar.
Ketika kita sakit kita diwajibkan berikhtiar agar kita di beri kesembuhan oleh Alloh SWT, ikhtiar bisa dilakukan secara dzohir maupun bathin.
Manusia hanyalah berusaha, yang mempunyai kesembuhan adalah Alloh SWT.
Sakit adakalanya peringatan dari Alloh SWT atas dosa dan kesombongan kita diwaktu sehat, maka ketika kita sakit bertaubatlah kepada Alloh dengan sebenar-benarnya taubat.
Dekatkanlah diri ini kepada Alloh SWT diantaranya dengan Sholat, ngaji qur an, sholawat pada kanjeng nabi, shodaqoh, tahajud, dhuha, tafakur, tasyakur, wirid, dan sebagainya.
Bersama Aa Iya ( Pimpinan Majelis dan Pesantren Arrohimiyyah ), mari kita bersama-sama untuk berikhtiyar agar kita disembuhkan dari penyakit, baik penyakit dzohir maupun penyakit bathin.
Bersama beliau juga kita berwasilah agar kita di berikan kemudahan dan kesuksesan dalam setiap permasalalahan, baik permasalahan dunia, maupun akhirat.
Setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya, banyak orang yang menginginkan usahanya sukses,dagangannya laris,cepet dapat jodo,hajatnya terkabul, semua itu adalah milik Alloh penguasa alam ini, karena milik Alloh maka kita minta sama Alloh.
Bersama Aa Iya mudah-mudahan segala hajat kita di qobul oleh Alloh SWT,segala permasalahan diberikan jalan keluar, yang susah di mudahkan, yang sakit di sembuhkan, yang bingung jadi bahagia, yang punya hajat segera di qobul hajatnya.
Untuk konsultasi silahkan datang langsung ke alamat : Kp Babakan Sari RT 01 / 08 Desa Cikurutug Kec. Cireunghas Kab. Sukabumi.
MAJELIS AHBAABUL MUSTHOFA
مَا شَاءَ اَلله كَانَ وَمَا لَمْ يَشاء لَمْ يَكنْ
Senin, 21 Agustus 2017
Jumat, 13 Mei 2016
إذا صح الحديث فهو مذهبي Maksud Qoul Imam Syafe'i
Qoul imam asy-syafi'i
إذا صح الحديث فهو مذهبي
"Apabila shaheh hadits maka itulah mazhabku".
Imam Syafi’i merupakan nama yang tidak asing lagi di telinga kita,
terlebih lagi umat Islam Asia Tenggara umumnya merupakan penganut Mazhab
beliau dalam bidang fiqh. Banyak mutia kalam Imam Syafii yang dikutip
para ulama sesudahnya baik dalam ranah fiqh maupun lainnya.
Wasiat beliau ini banyak di salah artikan, di mana banyak kalangan yang
dengan mudahnya menyatakan bahwa pendapat Imam Syafii hanya dapat di
amalkan bila sesuai dengan hadits shahih, sehingga saat ia menemukan
satu hadits shahih maka ia langsung berpegang kepada dhahir hadits dan
melarang mengikuti pendapat Imam Syafii dengan alasan mengamalkan wasiat
Imam Syafii. Bahkan mereka menjadikan wasiat Imam Syafii ini sebagai
hujjah tercelanya taqlid, mereka mengartikan wasiat ini sebagai larangan
dari Imam Syafii untuk taqlid kepada beliau. Oleh karena itu kami
tertarik ingin mengupas masalah ini.
Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat Imam Syafii,
tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki
maksud yang sama. Lalu bagaimana sebenarnya maskud wasiat Imam Syafii
ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih
bertentangan dengan pendapat Imam Syafii maka pendapat Imam Syafii tidak
dapat di terima. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya
sejauh mana keilmuan Imam Syafii, terutama dalam penguasaan ilmu
hadits.
Ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’
terhadap wasiat Imam Syafii tersebut. Imam Nawawi mengatakan :
وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب
الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما
تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم
يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب
الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل
من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر
أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو
تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك
“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafii ini adalah setiap orang yang
melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafii
dan langsung mengamalkan dhahir hadits. Wasiat ini hanya di tujukan
kepada orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam mazhab
sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid
atau mendekatinya. syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan
wasiat Imam Syafii tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam
Syafii tidak mengetahui hadits tersebut atau tidak mengetahui kesahihan
haditsnya. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam
Syafii dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau.
Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang
memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafii
mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan
beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya
hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil
atau lain semacamnya”.
(Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64)
Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana
kedudukan wasiat Imam Syafii tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa
dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi
sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan.
Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafii ini dengan kata beliau
وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث
“tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”.
(Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah)
Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafii tentang hadits yang sangat
luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu
hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafii
tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti
ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam
Syafii meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang
mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits
tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat
mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai
kitab-kitab Imam Syafii dan shahabat beliau. Imam Nawawi yang hidup di
abad ke 6 hijriyah mengakui sulitnya mendapati orang yang mencapai
derajat ini.
Tentang wawasan Imam Syafii dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam
kitab Tarikh Dimasyqi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal :
ما أحد يعلم في الفقه كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي
“tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya
sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafii”
. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr)
Imam Ahmad bin Hanbal juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafii memiliki
hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi
bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada
seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad :
يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث
“Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal), tidak ada hadits shahih
dalam masalah ini.”
Imam Ahmad menjawab :
إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه
“Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan
Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.”
(Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr)
Dalam sejarah ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam
Syafii tersebut seperti Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid
an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang berbekam dan yang dibekam
batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i yang mengatakan
bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak
karena ternyata Imam Syafii meninggalkan hadits ini karena menurut Imam
Syafii hadits ini adalah mansukh. Demikian juga dengan beberapa ulama
Mazhab Syafii yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafii yang
menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan
qunut merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk
setelah mendapati bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat
dan tidak menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul
Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95)
Imam Syafii juga mengucapkan wasiat ini pada beberapa masalah di mana
yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan
hadits hanyalah keshahihan hadits tersebut yang masih beliau ragukan,
sehingga beliau mengaitkan apabila shahih hadits maka itulah pendapatku.
Atas dasar inilah, para ulama pengikut beliau meninggalkan beberapa
pendapat jadid beliau dan malah berpegang kepada pendapat qadim, karena
dalam qaul jadid yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat
sesuai dengan hadits hanyalah karena keraguan pada keshahihan hadits
saja, sehingga setelah ulama setelah beliau melakukan analisa terhadap
hadits tersebut dan di simpulkan bahwa hadits tersebut adalah hadits
shahih maka mereka langsung berpegang kepada pendapat qadim karena
mengamalkan wasiat beliau ini. Kita lihat penjelasan Imam Syarwani dalam
hasyiah `ala Tuhfatul Muhtaj:
يعلم منه أنه حيث قال في شيء بعينه إذا صح الحديث في هذا قلت به وجب تنفيذ
وصيته من غير توقف على النظر في وجود معارض؛ لأنه - رضي الله تعالى عنه -
لا يقول ذلك إلا إذا لم يبق عنده احتمال معارض إلا صحة الحديث بخلاف ما إذا
رأينا حديثا صح بخلاف ما قاله فلا يجوز لنا ترك ما قاله له حتى ننظر في
جميع القوادح والموانع فإن انتفت كلها عمل بوصايته حينئذ وإلا فلا
Bisa di ketahui bahwa jika Imam Syafi berkata pada satu tempat “jika
sahih hadits pada masalah ini saya akan berpendapat demikian” maka wajib
di tunaikan wasiat Imam Syafii tersebut tanpa tawaquf pada dalil lain
yang menentang (mu’aridh) karena Imam Syafii tidak mengucapkan demikian
kecuali apabila tidak ada lagi kemungkinan ada mu`aridh kecuali hanya
tentang sahnya hadits tersebut, dengan sebalik bila kita temukan satu
hadit syang shahih maka tidak boleh bagi kita meninggalkan pendapat Imam
Syafii sehingga kita tinjau kembali seluruh dalil mu’aridh dan qawadih
dan segala mani`, bila memang semuanya tidak ada maka baru bisa di
amalkan wasiat beliau tersebut, jika tidak demikian maka tidak boleh ..
(Imam Syarwani, Hasyiah Syarwani `ala Tuhfatul Muhtaj Jilid 3 Hal 481 Dar Fikr)
Ketentuan ini berlaku dalam semua Mazhab, Imam al-Qurafi dalam Syarah
al-Mahshul setelah mengutip wasiat Imam Syafii tersebut berkata :
فإنه كان مراده مع عدم المعارض، فهو مذهب العلماء كافة وليس خاصاً به، وإن
كان مع وجود المعارض فهذا خلاف الإجماع ...كثير من فقهاء الشافعية يعتمدون
على هذا ويقولون: مذهب الشافعي كذا لأن الحديث صح فيه وهو غلط فإنه لا بد
من انتفاء المعارض والعلم بعدم المعارض يتوقف على من له أهلية استقراء
الشريعة حتى يحسن أن يقول لا معارض لهذا الحديث، وأما استقراء غير المجتهد
المطلق فلا عبرة به
“Maksudnya adalah bila tidak ada dalil lain yang kontra. Ini adalah
mazhab ulama seluruhnya bukan hanya khusus Mazhab Syafii. sedangkan bila
ada dalil yang kontra maka hal ini adalah bertentangan dengan ijmak
ulama…Banyak ulama fuqaha` Mazhab Syafii yang mencoba berpegang kepada
perkataan Imam Syafii ini, mereka mengatakan ini adalah mazhab Syafii
karena haditsnya shahih. Ini adalah hal yang salah karena harus tidak
ada dalil lain yang kontra sedangkan untuk mengetahui tidak ada dalil
yang kontra hanya mampu bagi kalangan yang memiliki kemampuan analisa
syariat sehingga ia mantap menyatakan bahwa hadits ini tidak ada dalil
lain yang kontra dengannya. Adapun analisa selain mujtahid mutlaq maka
tidak di terima”. (al-Qurafi, Syarh Tanqih al-Fushul hal 450)
Imam Taqi as-Subki memberikan komentar mengenai syarat mengamalkan
wasiat Imam Syafii yang di sebutkan oleh Imam Ibnu Shalah dan Imam
Nawawi :
وهذا الذى قالاه رضي الله عنهما ليس راد لما قاله الشافعى ولا لكونها فضيلة
امتاز بها عن غيره ولكنه تبيين لصعوبة هذا المقام حتى لا يغتر به كل احد
perkataan keduanya (Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi) ini bukan berarti
menolak perkataan Imam Syafii sendiri dan bukan pula karena wasiat ini
merupakan satu kelebihan yang membedakan beliau dengan ulama lainnya
tetapi ini merupakan penerangan bagi sulitnya kedudukan ini sehingga
tidak akan ada orang yang tertipu dengannya.
(as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 93)
Maka dari penjelasan para ulama-ulama yang kami kutip di atas, bisa kita
lihat bahwa tidaklah serta merta ketika seseorang menemukan satu hadits
shahih sedangkan pendapat Imam Syafii sebaliknya maka ia langsung
mengklaim bahwa pendapat Imam salah dan harus mengamalkan seperti dhahir
hadits. Selain itu perkataan Imam Syafii tersebut bukanlah berarti
sebagai larangan taqlid kepada beliau, sebagaimana sering di dengungkan
oleh kalangan “anti taqlid kepada Imam mujtahid”. Murid-murid Imam
Syafii yang belajar langsung kepada beliau masih taqlid kepada beliau,
kemudian mereka juga mengajarkan fiqh Mazhab Syafii kepada murid-murid
mereka sehingga mazhab Syafii tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bila
Imam Syafii semasa hidup beliau telah melarang taqlid kepada beliau
tentunya mazhab beliau tidak akan tersebar, karena para murid-murid
beliau tidak mengajarkan mazhab beliau tetapi mazhab mereka
masing-masing. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa Imam
Syafii melarang taqlid kepada beliau hanya muncul belakangan semenjak
lahirnya kaum anti taqlid kepada Imam Mujtahid.
Perlu di ingatkan bahwa ajakan berpegang kepada al-qur-an dan hadits
langsung dan meninggalkan pendapat mujtahid merupakan yang hal
berbahaya, karena nantinya setiap insan akan berani memahami ayat dan
hadits dengan kepala mereka sendiri dengan sangkaan bahwa ilmu mereka
cukup cukup untuk berijtihad, padahal ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam
Nawawi, Rafii dan Ibnu Hajar al-Haitami dan ulama besar lainnya
ternyata masih bertaqlid kepada mazhab Syafii.
Pada hakikatnya, ajakan kembali kepada al-quran dan hadits hanyalah
ajakan untuk mengikuti pemahaman al-quran menurut mereka yang berarti
mengajak untuk taqlid kepada mereka semata dan meninggalkan taqlid
kepada para imam mazhab yang telah di ikuti oleh umat ratusan tahun
lamanya. Makanya di sini kami menyebutkan mereka dengan golongan “anti
taqlid kepada Imam Mujtahid” karena ketika mereka mengajak meninggalkan
mazhab dan menawarkan solusi kembali kepada al-quran dan hadits,
ternyata penafsiran al-quran dan hadits yang mereka tawarkan adalah
penafsiran versi mereka, artinya akan terjatuh kepada taqlid kepada
mereka juga.
Dikutip dari : http://azharnasri.blogspot.com/.../wasiat-imam-syafii...
معنى قول الشافعي إذا صح الحديث فهو مذهبي
قال الإمام النووي رحمه الله في مقدمة شرحه على الوسيط للغزالي :
(صح عن الشافعي رحمه الله أنه قال: إذا وجدتم في كتابي هذا خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولو بالسنة ودعوا قولي)
وفي رواية )إذا صح الحديث خلاف قولي، فاعملوا بالحديث واتركوا قولي) أو قال( فهو مذهبي)
ورووا هذا المعنى بألفاظ مختلفة. وقد عمل بهذا أصحابنا في مسألة التثويب
واشتراط التحلل في الإحرام بعذر المرض، وغيرهما من المسائل المعروفة في كتب
المذهب.
وممن حُكي عنه من أصحابنا الإفتاء على مذهب الشافعي بالحديث نصه أبو يعقوب
البويطي وأبو القاسم الداركي وممن نص عليه الإمام أبو الحسن الكيا الهراسي
صاحب إمام الحرمين في كتابه في الأصول وصرح أصحابنا الجامعون بين الفقه
والحديث باستعماله، ولم يقع ذلك إلا نادرا في مسائل قليلة، ومنه ما للشافعي
فيه قول على وفق الحديث، وهذا الذي قاله الشافعي ليس معناه أن كل من رأى
حديثا صحيحا قال: هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره، وإنما هذا فيمن له رتبة
الاجتهاد في المذاهب أو قرب منه، وشرطه أن يكون له خبرة بالأحاديث بحيث
يغلب على ظنه أنه لا يعارضه حديث يترجح عليه، وأن يغلب على ظنه أن الشافعي
لم يقف أو لم يعلم بصحته وهذا إنما يكون بعد مطالعته كتب الشافعي كلها
ونحوها من كتب الآخذين عنه، وسائر أصحابه، وهذا شرط صعب قل من يتصف به
وانما شرطوا ما ذكرناه، لأن الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث
كثيرة رآها وعلمها، لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها
أو تأويلها أو نحو ذلك.
قال الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله: " ليس العمل بظاهر ما قاله
الشافعي بالهين، فليس كل فقيه له الاستقلال بالعمل بما يراه حجة من الحديث،
وممن سلك هذا المسلك من الشافعيين من عمل بحديث تركه الشافعي عمدا مع علمه
بصحته لمانع اطلع عليه وخفي على غيره كأبي الوليد موسى بن أبي الجارود
صاحب الشافعي قال صح حديث "أفطر الحاجم والمحجوم" فردوا ذلك على أبي الوليد
لأن الشافعي تركه مع علمه بصحته لكونه منسوخا عنده وبيّن الشافعي نسخه
واستدل عليه.
وقد روينا عن إمام الأئمة أبي بكر محمد بن اسحاق بن خزيمة أنه قال: " لا
أعلم سنة صحيحة لرسول الله صلى الله عليه وسلم لم يودعها الشافعي كتبه"
وجلالة ابن خزيمة وإمامته في الحديث والفقه ومعرفته بكتب الشافعي بالمحل المعروف فإنه أحد ملازمي المزني.
قال الشيخ أبو عمرو ابن الصلاح: " فمن وجد من الشافعية حديثا يخالف مذهبه
فإن كملت شرائط الاجتهاد فيه مطلقا، أو في ذلك الباب أو المسألة استقل
بالعمل به، وأن لم تكمل وشق عليه مخالفة الحديث بعد أن بحث فلم يجد جوابا
شافيا فله العمل به إن كان عمل به إمام مستقل غير الشافعي وكون هذا له عذرا
في ترك مذهب إمامه هنا وهذا الذي قاله حسن متعين. والله أعلم.
Nahwu
Kapan harokat alif / hamzah pada "ان " dibaca kasroh ? HAMZAH INNA WAJIB KASRAH :
فَاكْسِرْ فِي الابْتِدَا وَفِي بَدْءِ صِلَهْ وَحَيْثُ إِنَّ لِيَمِينٍ مُكْمِلَهْ
Kasrahkanlah (terhadap hamzahnya INNA):
(1) berada di permulaan kalam,
(2) berada di permulaan jumlah shilah (shilah mausul)
(3) sekiranya Inna dipandang sempurna sebagai jawab bagi kata sumpah
(menjadi jawab qosam baik khobarnya ada lam ibtida’ atau tidak).
أَوْ حُكِيَتْ بِالْقَوْلِ أَوْ حَلَّتْ مَحَلَّ حَالٍ كَزُرْتُهُ وَإِنِّي ذُو أَمَلْ
Atau (4) diceritakan dengan qaul (menjadi jumlah mahkiyah dari kata qoul),
atau (5) menempati di tempatnya haal (jumlah inna menjadi haal) seperti:
Zirtu hu wa inniy dzu amal “aku mengunjunginya sebagai orang yg
berharap/punya kebutuhan).
وَكَسَرُوا مِنْ بَعْدِ فِعْلٍ عُلِّقَا بِالَّلاَمِ كَاعْلَمْ إنَّهُ لَذُو تُقَى
Dan (6) mereka mengkasrahkan (hamzah inna) berada setelah fi’il yang
digantungkan dengan lam ibtida’ (sebagian fi’il dari af’aalul quluub yg
menyertai lam ibtida) seperti: I’lam innahuu la dzuu tuqoo “ketahuilah
bahwa dia itu orang yang mempunyai ketakwaan”. Wallohu a'lam. [Santrialit].
CONTOH HAMZAH INNA WAJIB KASRAH:
1. Permulaan kalam (INNA ZAIDAN QOOIMUN)
2. Shilah maushul (JAA-A ALLADZI INNA HU QOOIMUN)
3. Jawab qosam (WALLAAHI INNA ZAIDAN QOOIMUN)
4. Mahkiyah qoul (QOOLA INNA ZAIDAN QOOIMUN)
5. Haal (JAA-A ZAIDUN WA INNA HU QOOIMUN)
6. Setelah fi’il qulub dengan lam taukid (I’LAM INNA ZAIDAN LA QOOIMUN)
- I'rob lafadz " لبيك "
محاولة للإعراب :
لبيك : نائب عن المصدر " مفعول مطلق " بمعنى ألبي طلبك تلبية بعد تلبية " هذه تشبه قولنا : لبيك اللهم لبيك " فقسناها عليها ، لفعل محذوف منصوب وعلامة نصبه الياء ؛ لأنه جاء على صورة المثنى وهو مضاف ، والكاف : ضمير متصل مبني على الفتح في محل جر مضاف إليه . أي العامل محذوف سماعيا وناب عنه المصدر
Khutbah Nikah
Khutbah Nikah
ألحمد لله الذي احل النكاح وحرم السفاح احمدُه سبحانَه ان خلَق
من الماء بشرا فجعله نسبا وصهرا, و اشكرُه انْ خلَق لنا مِن انفسنا ازواجا
لنَسْكُن اليها وجعل بيننا مودة ورحمة. واشهد ان لااله الا الله لاشريك له
مَبْدَع نِظام العالم على اكملِ حكمة, واشهد ان محمدا عبدُه ورسوله خيرُ
ائمةِ الامة. اللهم فصل وسلم على حبيبنا و قرة اعيننا سيدنا محمد الذي ادّب
و عامَل اهلَه وامتَه بالاخلاق الكريمة وعلي اله و اصحابه ذوي الفضائل والكرامة.
اما بعد فيا ايها الاخوة رحمكم الله,
اتقوا
الله واعلموا ان النكاح سنة من سنن الرسول صلى الله عليه وسلم وقد قال
الله تعالى في كتابه الكريم, اعوذ بالله من الشيطان الرجيم وانكحوا الايامى
منكم والصالحين من عبادكم و امائكم. اِن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله
والله واسع عليم.
وعقد
النكاح, ايها الاخوة, ميثاق غليظ كما سماه الله تعالى في كتابه وهو ليس
مجرد مَسَايِرَة التقاليد البشرية ولا محضَ وسيلةِ للتناسل اِشْبَاعا لهوى
النفس واَرْوَاءً للشهوات الحيوانية و انما هو مسؤلية.
Segala
puji bagi Allah yang telah menghalalkan nikah dan mengharamkan zina.
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dari air lalu
menjadikannya berketurunan dan berbesanan. Dan kita bersyukur Allah
telah menciptakan untuk kita, dari jenis kita sendiri, jodoh-jodoh agar
kita condong-tenteram kepada mereka dan menjadikan cinta dan kasih
sayang di antara kita.
Shalawat
dan salam semoga Ia limpahkan kepada pemimpin agung kita nabi Muhammad
SAW yang telah mencontohkan pergaulan hidup antar sesama maupun keluarga
dengan budi pekerti yang luhur. Shalawat dan salam semoga Ia limpahkan
pula kepada keluarga Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia.
Amma ba’du;
Saudara-saudaraku
kaum muslimin yang berbahagia, marilah kita senantiasa meningkatkan
ketakwaan kita kepada Allah dan ketahuilah bahwa pernikahan itu
merupakan salah satu sunnah Rasul SAW dan merupakan anjuran agama.
Pernikahan yang disebut dalam Quran sebagai perjanjian agung, bukanlah
sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi, bukan semata-mata sarana
mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai penyaluran libido
seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka. Penikahan adalah
amanah dan tanggungjawab. Pernikahan adalah sorga bagi pasangan yang
bertanggungjawab dan melaksanakan amanah.
فال النبي صلى الله عليه وسلم: استوصوا بالنساء خيرا فانما هن عندكم وديعة وانما هن كاَسْرى بين ايد يكم وانما اخذتموهن بامانة الله واستحللتموهن بكلمة الله. فعاشروهن بالمعروف ولاتظلموهن وقوموا بحقهن.
وقَال
صلواته وسلامه عليه فيما قال عن مسؤلية كلِّنا: ... والرجُل راعٍ في اهله
وهو مسؤل عن رعيته والمراْة راعية في بيت زوجها وهي مسؤلة عن رعيتها.
فالرجل مُلْزِم بوفاء حقوقِ اهله و اولاده واهمُّها المُعاشرة بالمعروف. والمرا ة مطالِبَةُ بطاعةِ زوجِها وتدبيرِ امورَ بَيتِها.
وكلٌ
من الزوجين يحمِل مسؤليةَ نجاحِ زواجهما لنيل رضا مولاهما تعالى. وذلك
مُتَيَسِّرٌلهما اذا كان كل منهما ينظر ويَرْعَى دائما الى ما عليه من
الواجبات لزوجه اكثَرُ مما ينظر ويرْعى الى ماله منَ الحقوق عليه.
Nabi
Muhammad SAW telah bersabda yang artinya: “Perhatikanlah baik-baik
istri-istri kalian. Mereka di samping kalian ibarat titipan, amanat yang
harus kalian jaga. Mereka kalian jemput melalui amanah Allah dan
kalimahNya. Maka pergaulilah mereka dengan baik, jangan kalian lalimi,
dan penuhilah hak-hak mereka.”
Ketika
berbicara tentang tanggungjawab kita, Rasulullah SAW antara lain juga
menyebutkan bahwa “suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah
penggembala dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas
gembalaannya.”
Begitulah;
laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam sebuah
pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan
kewajiban.
Suami
wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya, di
antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan baik. Isteri
dituntut untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumahtangganya.
Masing-masing
dari suami-isteri memikul tanggung jawab bagi keberhasilan perkawinan
mereka untuk mendapatkan ridha Tuhan mereka. Apabila masing-masing lebih
memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya
daripada menuntut haknya saja, insya Allah keharmonisan dan kebahagian
hidup mereka akan lestari sampai Hari Akhir. Sebaliknya apabila
masing-masing hanya melihat haknya sendiri karena merasa memiliki
kelebihan atau melihat kekurangan dari yang lain, maka kehidupan mereka
akan menjadi beban yang sering kali tak tertahankan.
Masing-masing,
laki-laki dan perempuan, secara fitri mempunyai kelebihan dan
kekurangannnya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu bukan untuk
diperbanggakan atau diperirikan. Kekurangan-kekurang pun bukan untuk
diperejekkan atau dibuat merendahkan. Tapi semua itu merupakan peluang
bagi kedua pasangan untuk saling melengkapi.
وعليهما
معا ان يجاهدا في بناء الاسرة باخلاق الاسلام والحفظِ على سلامتها
واستقامتها على الدوام . وبذلك تكون السعادة في الدارين ان شاء الله.
Kedua
suami-isteri hendaklah bersama-sama berjuang membangun kehidupan
keluarga mereka dengan akhlak Islam dan menjaga keselamatan dan
keistiqamahannya selalu. Dengan demikian akan terwujudlah kebahagian
hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, Insya Allah.
اقول قولي هذا واستغفر الله العظيم لي ولكم ولوالدي ولوالديكم ولمشايخي ومشايخكم ولسائر المسلمين. فاستغفروه انه هو الغفور الرحيم.
استغفر الله العظيم x 3
اشهد ان لا اله الا الله و اشهد ان محمدا رسول الله x 3
keutamaan menulis dan membaca Bismillahirrahmanirahim
keutamaan2 menulis dan membaca
Bismillahirrahmanirahim, itu seperti terdapat dalam kitabnya Syekh Imam
Nawawi Al-Bantani yang berjudul Tanqihul Qaulil Hatsits bi Syarhi
Lubabil Hadits Lil Imami Asy-Syuyuthi.
{الباب الثالث: في فضيلة بسم الله الرحمن الرحيم}
Bab III : Dalam menjelaskan tentang Keutamaan Bismillahirrahmanirrahim
... sampai pada kalimat (sabda nabi) :
(وقال صلى الله عليه وسلم إذَا كَتَبَ أحَدُكُمْ بِسْمِ الله الرَّحْمنِ
الرَّحِيمِ) أي إذا أراد أن يكتبها (فَلْيَمُدَّ الرَّحْمانَ) أي حروفه بأن
يمد اللام والميم ويجوف النون ويتأنق، أي يحسن في ذلك رواه الخطيب
والديلمي عن أنس بن مالك.
Rosulullah SAW bersabda : ' ketika kalian menuliskan
Bismillahirrahmanirrahim maka panjangkanlah tulisan Arrahman ( Huruf
Arrahman itu dengan memanjangkan Lam dan Mimnya dan membaguskan
penulisannnya ). sebagaimana keterangan yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Khotib dab Dailamy dari Imam Anas bin Malik.
Demikian juga keterangan dalam kitab Itqon fii 'ulumil qur'an :
وأخرج ابن أشتة ، عن عمر بن عبد العزيز : أنه كتب إلى عماله : إذا كتب أحدكم ( بسم الله الرحمن الرحيم فليمد الرحمن .
وأخرج عن زيد بن ثابت : أنه كان يكره أن تكتب بسم الله الرحمن الرحيم ليس لها سين .
Dalam Al-taisir bi syarhi al jami'i al shoghir (Imam Munawi) 1/252 :
إذا كتب أحدكم بسم الله الرحمن الرحيم ) أي أراد أن يكتبها ( فليمد ) حروف (
الرحمن ) بأن يمد اللام والميم ويجوف النون ويتأنق في ذلك ( خط في ) كتاب (
الجامع ) في آداب المحدث والسامع ( فر ) كلاهما ( عن أنس ) بن مالك وفيه
ضعف
( إذا كتبت بسم الله الرحمن الرحيم ) أي أردت كتابتها ( فبين السين فيه )
أي أظهرها ووضح سننها إجلالا لاسم الله ( خط ) في ترجمة ذي الرياستين (
وابن عساكر ) في تاريخه ( عن زيد بن ثابت ) بن الضحاك النجاري وهو ضعيف
http://islamport.com/d/1/srh/1/9/165.html
Salah satu cara mengagungkan kalam Allah, dalam hal ini lafadz BASMALAH,
yaitu dengan penulisan yang bagus (ditulis dengan cara yang baik,benar
dan bagus).
Dan penulisan itu kurang lebihnya seperti berikut
الـــــرحمــــن
penulisan huruf LAM nya dipanjangkan, demikian juga MIM nya. Wallohu a'lam
Hadits Dajjal dan Nabi Isa AS
hadits tentang al mahdi, hadits tentang dajjal dan
hadits tentang turunnya nabi Isa, semuanya telah mencapai derajat mutawatir
tanpa ada kesamaran bagi orang yang punya keutama'an dalam mutola'ah. Syaikh
Abul hasan al khos'i dalam manaqib as syafi'i berkata bahwa hadis tentang al
mahdi sebagai umat ini dan Nabi isa sholat di belakang imam mahdi telah mencapai
derajat mutawatir. Wallohu a'lam bis showab.
REFERENSI :
- kitab fathul bary (6/569)
:
وقال
أبو الحسن الخسعي الآبدي في مناقب الشافعي : تواترت الأخبار بأن المهدي من هذه
الأمة وأن عيسى يصلي خلفه ، ذكر ذلك ردا للحديث الذي أخرجه ابن ماجه عن أنس وفيه
ولا مهدي إلا عيسى
- kitab al bidayah wan
nihayah :
الثالث
: أنه لم يذكر بصريح اسمه في القرآن احتقارا له ، حيث إنه يدعي الإلهية وهو بشر ،
وهو مع بشريته ناقص الخلق ينافي حاله جلال الرب وعظمته وكبرياءه وتنزيهه عن النقص ،
فكان أمره عند الرب أحقر من أن يذكر ، وأصغر ، وأدحر من أن يجلى عن أمر دعواه ويحذر
، ولكن انتصر الرسل لجناب الرب ، عز وجل ، فجلوا لأممهم عن أمره ، وحذروهم ما معه
من الفتن المضلة ، والخوارق المنقضية المضمحلة ، فاكتفى بإخبار الأنبياء ، وتواتر
ذلك عن سيد ولد آدم إمام الأتقياء عن أن يذكر أمره الحقير بالنسبة إلى جلال الله ،
في القرآن العظيم
- kitab aunul ma'bud syarah
abu dawud :
وقال
الشوكاني في رسالته المسماة بالتوضيح في تواتر ما جاء في الأحاديث في المهدي
والدجال والمسيح : وقد ورد في نزول عيسى صلى الله عليه وسلم من الأحاديث تسعة
وعشرون حديثا ، ثم سردها وقال بعد ذلك : وجميع ما سقناه بالغ حد التواتر كما لا
يخفى على من له فضل اطلاع ، فتقرر بجميع ما سقناه أن الأحاديث الواردة في المهدي
المنتظر متواترة ، والأحاديث الواردة في الدجال متواترة ، والأحاديث الواردة في
نزول عيسى عليه السلام متواترة . انتهى
Jumat, 30 Oktober 2015
Sholat Jum'at
TATA
LAKSANA SHALAT JUM’AT
A. Pendahuluan
Ibadah Jumat
terdiri dari :
1. Dua khutbah Jum’at
2. Dua
raka’at shalat Jum’at
B. Hukum Shalat Jum’at
Shalat Jum’at
hukumnya wajib ‘ain dengan ijmak ulama dan berdasarkan firman Allah, berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ
مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.(Q.S. al-Jum’at : 9)
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Laki-laki
5. Merdeka (bukan
hamba sahaya)
6. Bermuqim (tidak
dalam keadaan musafir)
CatatanOrang yang tidak wajib melaksanakan shalat Jumat, harus
melaksanakan shalat dhuhur sebagai gantinya, kecuali orang gila. Namun, apabila mereka ikut shalat Jum’at, shalatnya
sah sebagai ganti dhuhur
D. Syarat –Syarat Sah Jum’at
1. Dalam waktu dhuhur
2. Dilakukan dalam kawasan yang ada perumahan yang sifatnya
tidak sementara
3. Tidak didahulu Jum’at lain dalam kawasan tersebut, karena
tidak boleh ada dua Jum’at atau lebih dalam satu kawasan kecuali karena
kesukaran
4. Berjama’ah
5. Jum’at itu didirikan oleh empat puluh laki-laki baligh
berakal, merdeka dan menetap di suatu kawasan tidak ada cita-cita untuk
berpindah ketempat dalam keadaan apapun kecuali karena dharurat.
Kunjungi : Http: kitab.kuneng.blogspot.com
E. Rukun-Rukun Khutbah Jum’at
Salat Jum’at diawali dengan khutbah Jum’at yang dapat dilakukan oleh imam salat atau oleh orang lain. Khutbah terbagi dua ; khutbah pertama dan khutbah kedua yang dipisah dengan duduk sebentar. Dalam kitab Minhaj al-Thalibin[3][3] karangan al-Nawawi disebutkan isi khutbah harus mengandung lima egara rukun berikut:
1. Memuji Allah, sekurang-kurangnya :
الْحَمْد ِللهِ
2. Membaca shalawat kepada Nabi SAW, sekurang-kurangnya :
والصلاة عَلى رسول الله
3. Berwasiat atau berpesan pada jamaah agar bertakwa,
sekurang-kurangnya :
اطيعوا
الله
4. Membaca ayat Al Quran pada salah satu dari dua khutbah.
5. Berdo’a untuk orang yang beriman dengan segala hal yang
bersifat ukhrawi (keakhiratan), namun boleh dicampur dengan urusan duniawi pada
waktu khutbah kedua. Memadai doa tersebut dengan misalnya :
رحمكم الله
Contoh Lafazh Khutbah Jum’at
pertama secara sempurna
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
و مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ
عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى
يَوْمِ الدّيْن
اما بعد, يَاأَيّهَا
الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
بسم الله الرحمن الرحيم.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
بَارَكَ اللهُ
لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ
مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
أَقُوْلُ
قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ
مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Contoh Lafazh Khutbah Jum’at kedua secara sempurna
إِنّ الْحَمْدَ
ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَلِيُّ
الصَّالِحِينَ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا خَاتَمُ الأَنْْْبِيَاءِ
وَالْمُرْسَلِينَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ., أَمَّا بعد ياايها الناس اوصيكم واياي بتقوى الله
وطاعته لعلكم تتقون
بسم الله الرحمن الرحيم.
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ
الدّعَوَاتِ. رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ
أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ
مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ
عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى
الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين
F. Sunnat-Sunnat Jum’at
1. Mandi,
waktunya mulai terbit fajar. Yang utama dekat dengan waktu pergi Jum’at
2. Pergi
ke Jum’at lebih awal
3. Berjalan
kaki ke Jum’at
4. Banyak
berzikir dan qiraah pada waktu pergi dan sesudah berada di mesjid sebelum
khutbah
5. Tidak
melangkahi bahu orang dalam mencapai shaf
6. Menggunakan
baju yang bagus, sebaiknya warna putih
7. Memotong
kuku
8. Menghilangkan
bau tidak sedap
9. Memperbanyak
membaca Surat al-Kahfi, malam dan siangnya
G. Yang Haram dengan Sebab Jum’at
Jual beli atau akad lainnya sesudah azan saat
khatib di atas mimbar. Adapun sebelum itu makruh
1. Rukun-rukun khutbah tersebut dalam Bahasa Arab
2. Dalam waktu Dhuhur
3. Berdiri jika mampu
4. Duduk antara dua khutbah, kalau khutbah sambil duduk, maka
wajib diselang dua khutbah itu dengan diam sebentar
5. Memperdengarkan kepada ahli Jum’at
6. Muwalaat (berturut-turut)
7. Suci dari hadats dan najis
I. Sunnat-Sunnat Khutbah
1. Menyimak khutbah (tidak berbicara), berdasarkan firman Allah
berbunyi :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ
وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : Dan apabila dibacakan Al Quran, maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat (Q.S. al-A’raf : 204)
Perintah dalam
ayat ini bermakna sunnat, bukan wajib karena berpedoman dengan hadits riwayat
Baihaqi dengan isnad shahih dari Anas berbunyi :
ان رجلا دخل والنبي صلى الله عليه و
سلم يخطب يوم الجمعة فقال متى الساعة فأومأ الناس إليه بالسكوت فلم يقبل واعاد
الكلام فقال النبي صلى الله عليه و سلم في الثالثة ماذا أعددت لها قال حب الله
ورسوله قال انك مع من احببت
Artinya : Seorang laki-laki masuk masjid,
sedangkan Nabi SAW sedang berkhutbah pada hari Jum’at. Laki-laki itu bertanya :
“Kapan terjadi kiamat ? ”. Manusia mengisyaratkan padanya untuk diam, tetapi
dia tidak mau menerimanya, bahkan mengulangi lagi pertanyaannya, maka Nabi Saw
bersabda : “Apakah kamu sudah bersiap-siap untuknya ? “.laki-laki itu menjawab
: “Mincintai Allah dan Rasul-Nya.” Nabi SAW melanjutkan, “Sesungguhnya kamu bersama
orang-orang yang kamu cintai.” (H.R. Baihaqi)
2. Khutbah di atas mimbar atau tempat yang tinggi
3. Memberi salam ketika sudah di atas mimbar
4. Duduk sesudah egara salam
5. Muazzin melakukan adzan sesudah khatib egara salam
6. Isi khutbah pendek mudah dipahami
7. Khatib tidak berpaling kiri atau kanan
8. Memegang tongkat, pedang atau yang semisalnya
J. Niat Shalat Jum’at
Selesai khutbah,
tiba waktunya salat Jum’at. Lafazh niatnya sebagai berikut:
1. Niat shalat Jum’at bagi makmum:
أُصَلِّي
فَرْضَ الُجْمَعةِ رَكْعَتَيْن أَدَاءً مُسْتَقْبِلَ الِقبْلَةِ مَأمُومًا ِللهِ
تَعاليَ
b. Niat shalat Jum’at bagi Imam:
أُصَلِّي فَرْضَ الُجْمَعةِ رَكْعَتَيْن أَدَاءً مُسْتَقْبِلَ الِقبْلَةِ إمَامًا ِللهِ تَعاليَ
1. Bagi makmum yang
ketinggalan satu rakaat shalat Jum’at (makmum masbuq), maka dia cukup menambah
satu rak’at yang ketinggalan setelah imam mengucapkan salam.
2. Bagi yang ketinggalan dua raka’at dan Cuma kebagian sujud
atau duduk tahiyat bersama imam, maka harus menyempurnakan empat raka’at
seperti layaknya shalat dhuhur.
3. Bagi yang ketinggalan shalat Jum’at sama sekali, maka harus
mengganti dengan shalat dhuhur
Dasarnya adalah
atsar Sahabat Nabi :
قالوا من أدرك
ركعة من الجمعة صلى إليها أخرى ومن أدركهم جلوسا صلى أربعا وبه يقول سفيان الثوري وابن المبارك
والشافعي وأحمد وإسحق
Artinya : Mereka mengatakan
barangsiapa yang mendapati satu raka’at dari Jum’at, maka hendak menambah yang
lain kepadanya dan barangsiapa yang mendapatinya dalam keadaan duduk, maka
hendak shalat empat raka’at. Ini termasuk pendapat Sufyan al-Tsury, Ibnu
al-Mubarak, Syafi’I, Ahmad dan Ishaq (R. Turmidzi)[7]
L. Masalah-Masalah yang Sering diperselisihkan
hukumnya di Sekitar Shalat Jum’at
1).
Masalah
Bilangan Jum’at
Telah terjadi perbedaan pendapat para ulama
mengenai jumlah ahli jum’at yang menjadi persyaratan sahnya shalat jum’at.
Menurut pengarang Kitab I’anah al-Thalibin,[8][8] terdapat
empat belas pendapat mengenai jumlah ahli jum’at yang menjadi persyaratan
shalat jum’at, yaitu :
1. Empat
puluh orang termasuk imam, menurut pendapat yang muktamad dalam mazhab Syafi’i.
Pendapat ini juga merupakan pendapat Umar bin Abdul Aziz, riwayat lain dari
Ahmad bin Hanbal dan Ishaq.[9][9]
2. Satu orang,
menurut hikayah Ibnu Hazmi
3. Dua orang, sama
halnya dengan persyaratan jama’ah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Nakh’i dan
ahlu Zhahir
4. Tiga orang selain
imam, menurut Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsury
5. Dua
orang selain imam, menurut Abu Yusuf, Muhammad dan al-Laits
6. Tujuh
orang, menurut Ikramah
7. Sembilan
orang, menurut Rabi’ah
8. Dua belas
orang, menurut satu riwayat dari Rabi’ah dan menurut Malik
9. Dua belas orang
selain iman, menurut Ishaq
10. Dua puluh
orang, menurut riwayat Ibnu Habib dari Malik
11. Tiga puluh
orang, juga menurut riwayat Ibnu Habib dari Malik
12. Lima puluh
orang, menurut satu riwayat dari Ahmad dan Umar bin Abdul Aziz
13. Delapan puluh
orang, menurut al-Maziry
14. Jama’ah yang
banyak tanpa batasan tertentu
Dalam Umairah disebutkan,
Abu Hanifah dan qaul qadim Syafi’i membolehkan shalat jum’at dengan satu imam
dan dua makmum.[10][10] Al-Bakri
al-Damyathi dalam Taqrir I’anah al-Thalibin menjelaskan bahwa dalam qaul qadim
Syafi’i ada qaul yang menyatakan sekurang-kurang ahli Jum’at adalah empat
orang. Qaul ini dihikayah oleh pengarang Talkhis dan pengarang Syarah
al-Muhazzab serta telah dipilih oleh al-Muzni dan ditarjih oleh Abu Bakar ibn
Munzir. Al-Suyuthi juga memilih qaul ini, karena menurut beliau, qaul ini
merupakan qaul Syafi’i yang didukung oleh
dalil. Disamping itu, termasuk dalam qaul qadim adalah pendapat yang
menyatakan ahli Ju’mat adalah dua belas orang.[11][11]
Adapun dalil-dalil penetapan ahli
Jum’at, sekurang-kurangnya empat puluh orang, antara lain hadits riwayat Abdurrahman bin Ka’ab
bin Malik dari bapaknya Ka’ab bin Malik,
أنه كان إذا سمع النداء يوم الجمعة ترحم على أسعد بن زرارة فقلت له إذا
سمعت النداء ترحمت لأسعد قال لأنه أول من جمّع بنا في هزم النَبيتِ من حَرّة بني
بَياضةَ في نَقيع يقال له نقيع الخَضِمات قلت له كم كنتم يومئذ قال أربعون
Artinya : Sesungguhnya
Ka’ab bin Malik apabila mendengar azan pada hari Jum’at, mendo’akan rahmat
untuk As’ad bin Zararah. Karena itu, aku bertanya kepadanya : “Apabila
mendengar azan, mengapa engkau mendo’akan rahmat untuk As’ad ? Ka’ab bin
Zararah menjawab : “As’ad adalah orang pertama yang mengumpulkan kami shalat
Jum’at di sebuah perkebunan di Desa Hurah Bani Bayadhah pada sebuah lembah yang
disebut dengan Naqi’ al-Khashimaat. Aku bertanya padanya : “Kalian berapa orang
pada saat itu ?” Beliau menjawab : “Empat puluh orang.” (H.R. Abu Daud, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Berkata Baihaqi : hadits hasan dengan isnad
sahih)[12]
Berkata
Hakim : “Hadits ini shahih atas syarat Muslim.”[13]
Jalan pendalilian
dengan hadits ini dikatakan, Ijmak ulama keabsahan shalat Jum’at harus dengan
memenuhi persyaratan bilangannya. Maka tidak sah shalat Jum’at kecuali dengan
bilangan yang ditetapkan syara’(tauqif). Berdasarkan
hadits di atas, Jum’at boleh dilakukan dengan bilangan empat puluh orang. Maka
tidak boleh mendirikan Jum’at dengan bilangan yang kurang dari itu kecuali ada
dalil yang menjelaskannya. Sedangkan hadits Rasulullah SAW menerangkan :
صلوا كما
رأيتموني أصلي
Pendalilian
seperti ini telah disebut oleh Ibnu Mulaqqan dalam Badrul Munir.[15][15] Keterangan bahwa pada
jum’at tidak boleh tidak dari bilangan jum’at, juga dikemukakan oleh
al-Suyuthi.[16][16] Jalan pendalilian lain disebut
oleh al-Khithabi al-Busty, yaitu : Jum’at yang terjadi pada kisah hadits di
atas merupakan Jum’at kali pertama dalam sejarah Islam. Oleh karena
itu, semua keadaannya menjadi wajib pada Jum’at, karena hal itu merupakan
penjelasan (bayan) atas mujmal yang wajib. Sedangkan bayan mujmal yang
wajib adalah wajib.[17][17]
Hadits-hadits lain yang mendukung antara lain :
2. Hadits dari
Jabir, beliau berkata :
مضت
السنة أن في كل أربعين فصاعدا جمعة
Artinya
: Sudah berlaku sunnah bahwa pada setiap empat puluh orang dan selebihnya boleh
dilaksanakan shalat Jum’at.(H.R. al-Darulquthni)[18]
Hadits
ini juga diriwayat oleh Baihaqi.[19]
3. Hadits dari Abu
al-Darda’, beliau berkata :
ان رسول الله صلعم قال إذا اجتمع أربعون رجلا فعليهم الجمعة
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Apabila berkumpul
empat puluh orang laki-laki, maka wajib atasnya shalat Jum’at.”[20]
4. Hadits dari Abu Umamah, beliau
berkata :
أن النبي صلعم قال لا جمعة الا باربعين
Artinya
: Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Tidak ada Jum’at kecuali dengan empat puluh
orang.”[21]
5. Hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata :
جمعنا
رسول الله صلعم نحن أربعون رجلا
Artinya
: Kami shalat Jum’at bersama Rasulullah SAW, kami waktu itu empat puluh orang (H.R.
Baihaqi)[22]
6. Al-Raqi
mengatakan :
أتانا كتاب عمر بن عبد العزيز إذا بلغ
أهل القرية أربعين رجلا فليجمعوا
Artinya
: Datang kepada kami surat dari Umar bin Abd al-Aziz, “Apabila penduduk suatu
egara sampai empat puluh orang laki-laki, maka hendaklah melakukan jum’at.”
(H.R. Baihaqi)[23]
Berikut ini beberapa hadits mengenai bilangan Jum’at yang digunakan
untuk menolak pendapat bahwa bilangan Jum’at haruslah empat puluh orang dengan
disertai penjelasan kualitas hadits tersebut, antara lain :
7. Hadits Nabi SAW :
على
خمسين جمعة ليس فيما دون ذلك
Artinya
: Kewajiban Jum’at atas lima puluh orang, tidak dibawah itu.(H.R. Baihaqi
dan Darulquthni)[24]
2. Hadits riwayat Ummul Abdullah al-Dausiyah,
berkata :
قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم الجمعة واجبة على كل قرية وإن لم يكن فيها إلا أربعة
Artinya : Rasulllah SAW bersabda ; “Jum’at wajib atas setiap
egara, meskipun tidak ada pada perkampungan itu kecuali empat orang.”(H.R.
Darulquthni)
Hadits ini diriwayat oleh Mu’awiyah
bin Sa’id al-Tajibi dari al-Zahry dari Ummul Abdullah al-Dausiyah.
Darulquthni mengatakan : “Tidak sah ini dari al-Zahri.”[26]
Dalam mensyarah hadits di atas, Abady Abu
al-Thaib mengatakan :
“Hadits
ini dikeluarkan oleh Darulquthni dalam tiga jalur, (maksudnya, ini yang pertama
dan setelah ini adalah dua dan tiga) semuanya dha’if,”[27]
8. Dalam riwayat lain, Ummul Abdullah al-Dausiyah mengatakan :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
الجمعة واجبة على كل قرية فيها إمام وإن لم يكونوا إلا أربعة
Artinya : Berrsabda Rasulullah SAW
: “Jum’at wajib atas setiap perkampungan yang ada imam, meskipun tidak ada pada
perkampungan itu kecuali empat orang.” (H.R. Darulquthni)
Hadits ini
diriwayat oleh Walid bin Muhammad dari al-Zahri dari Ummul Abdullah al-Dausiyah. Darulquthni mengatakan :
“Walid
bin Muhammad al-Muqiri matruk (ditinggalkan). Tidak sah ini dari al-Zahri dan
setiap orang yang meriwayat darinya adalah matruk (ditinggalkan).”[28]
9. Dalam riwayat lain lagi,
Ummul Abdullah al-Dausiyah
mengatakan :
سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول الجمعة واجبة على أهل كل قرية
وإن لم يكونوا إلا ثلاثة رابعهم إمامهم
Artinya
: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Jum’at wajib atas penduduk setiap
perkampungan, meskipun tidak ada mereka kecuali tiga orang, dimana yang keempat
dari mereka adalah imam.”(H.R. Darulquthni)
Hadits
ini diriwayat al-Hukm bin Abdullah bin Sa’ad dari al-Zahri dari Ummul Abdullah
al-Dausiyah. Setelah meriwayat hadits ini,
Darulquthni mengatakan :
“Al-Zuhri tidak sah mendengar dari al-Dausiyah.”[29]
2). Masalah Adzan sebelum Shalat Jum’at
Adzan Jum’at pada masa Rasulullah adalah 1 kali, adapun pelaksanaan
adzan dua kali pada shalat jum’at ini di temukan riwayatnya pada zaman Khalifah
Ustman bin Affan Ra, karena pengaruh lingkungan seperti makin ramainya jumlah
penduduk dan segala aktifitas penduduk semakin padat dan sibuk, yakni seperti
perdagangan yang tumbuh dan berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan
zaman. Dengan demikian azan dua kali diperbolehkan apabila keadaan memang
membutuhkannya.
3). Membaca Innallaha
wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi sebelum khutbah Jum’at
Imam Ar-Ramli ditanyai tentang seorang yang
maju keluar didepan khatib, berkata ayat; Innallah wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi, apakah itu asal pada sunnah dan
ada diperbuat dihadapan Nabi SAW sebagaimana dilakukan sekarang atau ada
diperbuat oleh salah seorang Sahabat Nabi atau Tabi’in semoga ridha Allah untuk
mereka, dengan sifat-sifat tersebut ? Imam Ar-Ramli menjawab :
“
Bahwa yang demikian itu tidak asal pada sunnah dan tidak diperbuat dihadapan
Nabi SAW bahkan Rasulullah tidak terburu-buru ke mesjid pada hari Jum’at
sehingga berkumpul manusia. Maka apabila manusia telah berkumpul, Beliau keluar
sendiri tanpa orang yang egar bersuara keras dihadapannya. Apabila masuk
mesjid, beliau egara salam kemudian apabila naik mimbar, beliau menghadap
manusia dengan wajahnya seraya egara salam, kemudian duduk dan Bilalpun
melakukan azan. Apabila sudah selesai dari azan, Beliau berdiri berkhutbah
tanpa pemisahan antara azan dan khutbah, tidak dengan atsar dan tidak dengan
khabar dan juga tidak dengan lainnya. Demikian juga keadaan para khalifah yang
tiga sesudahnya. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bahwa sesungguhnya ini adalah
bid’ah tetapi bid’ah hasanah. Maka pembacaan ayat yang mulia merupakan
pemberitahuan dan menggemarkan mendatangkan shalawat kepada Nabi SAW pada ini
hari (jum’at) hari yang mulia yang dituntut memperbanyak shalawat. Membaca
khabar sesudah azan dan sebelum khutbah dapat mengingatkan mukallaf untuk
menjauhi kalam yang haram atau makruh pada ini waktu berdasarkan ikhtilaf ulama
tentang ini. Sesungguh Rasulullah SAW mengatakan khabar ini atas mimbar pada
saat khutbahnya”[30]
4). Menggunakan Tongkat dalam Khutbah
Sunnah hukumnya
memegang tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah. Dalilnya
sebagai berikut :
الحكم
بن حزن رضي الله عنه قال " وفدت الي النبي صلي الله عليه وسلم فشهدنا معه
الجمعة فقام متوكئا علي قوس أو عصي فحمد الله وأثنى عليه كلمات خفيفات طيبات
مباركات
Artinya : Al-Hakm bin Hazn r.a. berkata, Aku tiba kepada Nabi SAW,
kami bersama beliau melakukan ibadah Jum’at, beliau berdiri bertongkat atas
busur atau tongkat, maka beliau memuji Allah dan menyanjungi-Nya dengan
kalimat-kalimat yang ringan, baik dan penuh berkat. (H.R. Abu Daud dan
lainnya dengan sanad hasan)[31]
5). Shalat Jum’at bertepatan dengan
shalat hari raya
Para ulama berbeda pendapat mengenai egar
shalat Jum’at yang bertepatan dengan Shalat Raya. Syafi’I dan pengikutnya
berpendapat jatuh hari raya pada hari Jum’at tidak menghilangkan kewajiban
Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk yang ada sekitar mesjid
(penduduk balad). Pendapat ini juga merupakan pendapat Usman bin Affan, Umar
bin Abdul Aziz dan jumhur ulama. Itha’ bin Abi Ribaah berpendapat atas penduduk
balad maupun penduduk dusun tidak wajib shalat Jum’at, shalat Dhuhur dan
lainnya kecuali shalat ‘Ashar pada hari tersebut. Menurut Ibnu Munzir pendapat
ini juga merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Zubair. Ahmad
mengatakan gugur shalat Jum’at atas penduduk balad
maupun penduduk dusun, tetapi wajib atas mereka shalat Dhuhur. Abu Hanifah
berpendapat Jum’at tidak gugur sama sekali, baik atas penduduk balad maupun
penduduk dusun.[32][32]1
Pendapat Abu Hanifah ini juga merupakan pendapat sebagian ulama dari kalangan
Syafi’I yang masuk dalam katagori dha’if.[33][33]
Sebagimana
disebut di atas, menurut Mazhab Syafi’I bertepatan hari raya pada hari Jum’at
tidak menghilangkan kewajiban Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk
yang ada sekitar mesjid (penduduk balad). Adapun penduduk yang dusun (ahlu
qura) yang jauh dari mesjid diberikan keringan tidak melakukan shalat Jum’at
pada hari itu.[34][34]
Tidak menggugurkan jum’at yang bertepatan dengan hari raya karena dhahir firman
Allah Q.S. al-Jum’at : 9 berlaku kapan saja dan dengan keadaan bagaimana saja.
Ayat tersebut berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ
مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya
: Hai orang-orang beriman, apabila egara untuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.(Q.S. al-Jum’ah : 9)
Dua
hadits di bawah ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa
shalat hari raya menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila hari raya
bertepatan dengan hari Jum’at, yaitu antara lain :
10. Hadits Nabi SAW
عن إياس بن أبي رملة الشامي قال شهدت
معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال
أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم عيدين اجتمعا في يوم ؟ قال نعم قال فكيف صنع ؟ قال صلى العيد ثم رخص في الجمعة فقال " من شاء أن يصلي فليصل
أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم عيدين اجتمعا في يوم ؟ قال نعم قال فكيف صنع ؟ قال صلى العيد ثم رخص في الجمعة فقال " من شاء أن يصلي فليصل
Artinya : Dari Iyaas bin Abi Ramalah
al-Syami, beliau berkata aku telah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan
bertanya kepada Zaid bin Arqam, Mu’awiyah berkata : “Apakah engkau ada
menyaksikan pada masa Rasulullah SAW berhimpun dua hari raya pada satu hari ?
Zaid bin Arqam menjawab : “ya”. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi : “Bagaimana
yang dilakukan Rasulullah ? “Rasulullah melakukan shalat hari raya dan
membolehkan tinggal shalat Jum’at” jawab Zaid bin Arqam. Maka berkata Mu’awiyah
: “Barangsiapa yang menginginkan shalat, maka hendaknya dia shalat”. (H.R. Abu Daud)[35]
11. Hadits
Nabi SAW
قد اجتمع في يومكم هذا عيدان فمن شاء
أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون
Artinya
: Sesungguhnya pada hari ini telah berhimpun dua hari raya. Barang siapa
yang menginginkan, maka memadai untuk Jum’at. Tetapi sesungguhnya kami
melaksanakan Jum’at. (H.R. Abu Daud) [36]
Untuk menjawab pendalilian ini, kita jelaskan dulu bagaimana
keadaan masjid pada zaman Rasulullah. Pada zaman beliau masjid jami` (masjid
besar yang digunakan untuk shalat jum`at) hanya ada di pusat kota Makkah atau
Madinah, sedangkan yang di desa-desa/pedalaman hanya ada masjid-masjid kecil,
atau sering disebut mushalla, yang tidak mampu menampung jumlah besar jamaah
yang egara untuk shalat jum`at atau shalat Ied. Oleh karena itu, masyarakat
yang tinggal di desa/pedalaman bila ingin melaksanakan shalat Jum`at atau Ied,
mereka pergi ke masjid besar, atau yang sering disebut masjid jami’. Mereka
memerlukan perjalanan yang cukup meletihkan untuk pergi ke masjid jami`
tersebut. Suatu ketika hari raya bertepatan jatuh pada hari jum`at. Ini yang
menyebabkan orang-orang yang tinggal di desa merasa kerepotan, karena harus
pergi ke masjid jami’ dua kali dalam sehari, padahal perjalanan yang ditempuh
terkadang cukup jauh. Bila mereka harus menunggu di masjid sampai waktu jum`at,
tentu itu terlalu lama bagi mereka. Meskipun begitu sebagian sahabat yang dari
pedalaman, ada yang berusaha menunggu di masjid jami’ sampai datangnya waktu
jum`at. Sebagian lain ada yang kembali ke desa dan kembali lagi waktu shalat
Jum’at. Melihat keadaan yang seperti ini, Rasulullah memberikan keringanan
kepada penduduk yang tinggal di desa untuk pulang ke desa tanpa perlu balik
lagi ke mesjid jami’ untuk melaksanakan shalat Jum’at pada hari raya. Dengan
demikian dua hadits di atas tidak dapat menjadi dalil menggugurkan kewajiban
shalat Jum’at apabila bertepatan dengan shalat hari raya.
6). Masalah I’adah Dhuhur
I’adah Dhuhur adalah melakukan shalat dhuhur sesudah selesai
shalat Jum’at karena shalat Jum’at ternyata tidak sah atau dikuatirkan tidak
sah. I’adah shalat Dhuhur ini yang biasanya dilakukan oleh kalangan pengikut
Mazhab Syafi’I kalau dirincikan dilakukan dengan beberapa sebab, antara lain :
- Jumlah jama’ah Jumat kurang dari 40 orang
Karena itu, kalau jama’ah tetap berpegang kepada pendapat
yang rajih dari Syafi’I bahwa ahli Jum’at harus 40 orang, maka apabila kurang,
wajib i’adah Dhuhur dan kalau berpegang kepada qaul qadim Syafi’I (pendapat
dhaif dalam Mazhab Syafi’i) memadai 4 orang, maka i’adah Dhuhur sunnat
hukumnya, untuk ihtiyath (hati-hati)
- Jumlah masjid yang menyelenggarakan shalat Jum’at di desa tersebut lebih dari satu masjid dengan tanpa egara dharurat. Pada saat itu, Jum’at yang sah hanya Jum’at yang lebih duluan takbiratul ihramnya
Karena itu, apabila dipastikan, diduga (dhan)
atau diragukan lebih duluan takbiratul ihram Jum’at lain, maka wajib i’adah
Dhuhur [37]
7). Menyelangi Wasiat dengan Bahasa Non Arab
Ahli fiqh selain Mazhab Hanafi sepakat
mensyaratkan rukun khutbah dibaca dalam bahasa Arab.[38][38] Ini tidak menjadi persoalan di saat
khutbah Jum’at tersebut diucapkan untuk ahli Jum’at yang mengerti Bahasa Arab.
Namun akan menjadi persoalan disaat khutbah tersebut diperuntukkan kepada ahli
Jum’at yang tidak mengerti Bahasa Arab seperti di Indonesia dan egara-negara
Islam non Arab lainnya. Padahal diharapkan dari khutbah trsebut menjadi wadah
mengajak umat Islam untuk meningkatkan pengamalan agamanya. Untuk menjawab
persoalan tersebut, umat Islam dunia dewasa ini dalam prakteknya memberikan solusi
dengan memberikan ceramah agama dalam Bahasa non Arab (bahasa setempat) yang
mudah dimengerti oleh ahli Jum’at setempat dengan tiga model, yakni :
1. Melakukan
ceramah dalam Bahasa non Arab (bahasa setempat) sebelum masuk dua khutbah yang
berbahasa Arab (ini biasa dilakukan oleh kalangan mazhab Syafi’I di Indonesia)
2. Melakukan
khutbah dalam Bahasa Arab secara sempurna, kemudian baru melakukan ceramah
dalam bahasa non Arab (bahasa setempat)
3. Melakukan
ceramah dalam Bahasa non Arab (bahasa setempat) di antara rukun –rukun khutbah,
yaitu setelah rukun wasiat. (Ini biasa dilakukan oleh kalangan modernis di
Indonesia)
Model kedua dan ketiga ditolak
dilakukannya oleh kebanyakan kalangan mazhab Syafi’I di Aceh dan Indonesia pada
umunya, karena dengan beralasan khutbah seperti itu menjadi batal menurut fatwa
ulama-ulama mu’tabar dalam mazhab Syafi’I, dimana berdasarkan fatwa ulama
Mazhab Syafi’I, ada kewajiban muwalaat (berturut-turut) antara rukun-rukun
khutbah dan antara khutbah dan shalat Jum’at. Ukuran muwalaat ini dikembalikan
kepada ‘uruf. Menurut Imam ar-Rafi’i (salah seorang ulama terpengaruh dalam
mazhab Syafi’i dan pendapatnya dianggap sebagai pendapat mu’tamad), ukuranya
adalah sama dengan ukuran muwalaat shalat jamak[39][39] (yaitu ukuran dua raka’at sederhana).
Adapun masalah menyelangi dengan nasehat agama dalam bahasa non Arab antara
rukun-rukun khutbah apabila dalam ukuran yang lama, maka itu dapat
menghilangkan muwalaat menurut Imam Ramli karena sama dengan diam yang lama.
Sedangkan menurut ‘Ali Syibran al-Malusi berpendapat muwalaat tidak hilang
meskipun dalam ukuran lama, karena nasehat agama dalam bahasa non Arab meskipun
dalam ukuran lama, secara umum masih dalam katagori wasiat.[40][40] Pendapat Imam Ramli dianggap lebih
rajih
[1][1]
Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 268
[1][2] Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 271-277
[3][3] Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 277-278
[3][4]
Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 283-289
[4][5] Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 278-281
[6][6]
Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 280-283
[6][7]
Turmidzi, Sunan
al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 402
[8][8] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah
al-Thalibin, Thaha Putra, SEmarang, Juz. II, Hal. 57. Lihat juga
al-Suyuthi, al-Hawi lil-Fatawi , Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
Juz. I, Hal. 66
[9][10] Umairah, Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah,
Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 274
[11][11] Al-Bakri al-Damyathi,
Taqrir I’anah al-Thalibin, dicetak pada hamiys I’anah
al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 58-59
[12][12] Ibnu Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ila
adallah al-Minhaj, Juz. I, Hal. 494. Lihat juga Baihaqi, Sunan
al-Baihaqi, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 177, No. Hadits
: 5396
[13][14] Baihaqi, Sunan Baihaqi,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 345, No. Hadits : 3672
[19][19] Baihaqi, Sunan al-Baihaqi,
Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 177, No. Hadits : 5397
[22][23] Baihaqi, Sunan al-Baihaqi,
Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 178
[28][29] Darulquthni, Sunan Darulquthni,
Darul Makrifah, Beirut, Juz. II, Hal. 9
[30][30] Imam Ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, dicetak
pada hamisy al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal.
276-277
[30][31] Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 526
[34][35] . Abu Daud, Sunan Abu Daud,
Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 348, No. Hadits 1070
[36][37] Lihat Amin
al-Kurdy, Tanwirul Anwar, Thaha Putra, Semarang, Hal. 177-178 dan
I’anah al-Thalibin, Juz. II, Bab Jum’at
[38][38]
Abdurrahman
al-Jaziry, Al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Hakikat Kitabevi,
Istambul, Juz. II, Hal. 71
[38][39]
Qalyubi, Hasyiah
Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I,
Hal. 281
[40][40] Syarwani, Hasyiah
‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II,
Hal. 450
Langganan:
Postingan (Atom)