Jumat, 13 Mei 2016

إذا صح الحديث فهو مذهبي Maksud Qoul Imam Syafe'i

Qoul imam asy-syafi'i
إذا صح الحديث فهو مذهبي

"Apabila shaheh hadits maka itulah mazhabku".

Imam Syafi’i merupakan nama yang tidak asing lagi di telinga kita, terlebih lagi umat Islam Asia Tenggara umumnya merupakan penganut Mazhab beliau dalam bidang fiqh. Banyak mutia kalam Imam Syafii yang dikutip para ulama sesudahnya baik dalam ranah fiqh maupun lainnya. 
Wasiat beliau ini banyak di salah artikan, di mana banyak kalangan yang dengan mudahnya menyatakan bahwa pendapat Imam Syafii hanya dapat di amalkan bila sesuai dengan hadits shahih, sehingga saat ia menemukan satu hadits shahih maka ia langsung berpegang kepada dhahir hadits dan melarang mengikuti pendapat Imam Syafii dengan alasan mengamalkan wasiat Imam Syafii. Bahkan mereka menjadikan wasiat Imam Syafii ini sebagai hujjah tercelanya taqlid, mereka mengartikan wasiat ini sebagai larangan dari Imam Syafii untuk taqlid kepada beliau. Oleh karena itu kami tertarik ingin mengupas masalah ini. 
Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat Imam Syafii, tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki maksud yang sama. Lalu bagaimana sebenarnya maskud wasiat Imam Syafii ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafii maka pendapat Imam Syafii tidak dapat di terima. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya sejauh mana keilmuan Imam Syafii, terutama dalam penguasaan ilmu hadits. 
Ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ terhadap wasiat Imam Syafii tersebut. Imam Nawawi mengatakan :

وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك

“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafii ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafii dan langsung mengamalkan dhahir hadits. Wasiat ini hanya di tujukan kepada orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam mazhab sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafii tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii tidak mengetahui hadits tersebut atau tidak mengetahui kesahihan haditsnya. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafii dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafii mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”.
(Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64)

Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kedudukan wasiat Imam Syafii tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan.
Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafii ini dengan kata beliau 

وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث
“tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”.
(Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah)

Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafii tentang hadits yang sangat luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafii tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam Syafii meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab Imam Syafii dan shahabat beliau. Imam Nawawi yang hidup di abad ke 6 hijriyah mengakui sulitnya mendapati orang yang mencapai derajat ini. 

Tentang wawasan Imam Syafii dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal :

ما أحد يعلم في الفقه كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي
“tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafii”
. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr)

Imam Ahmad bin Hanbal juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad :

يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث
“Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal), tidak ada hadits shahih
dalam masalah ini.”

Imam Ahmad menjawab :

إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه
“Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.” 
(Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr)

Dalam sejarah ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam Syafii tersebut seperti Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang berbekam dan yang dibekam batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak karena ternyata Imam Syafii meninggalkan hadits ini karena menurut Imam Syafii hadits ini adalah mansukh. Demikian juga dengan beberapa ulama Mazhab Syafii yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafii yang menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan qunut merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk setelah mendapati bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat dan tidak menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95)

Imam Syafii juga mengucapkan wasiat ini pada beberapa masalah di mana yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan hadits hanyalah keshahihan hadits tersebut yang masih beliau ragukan, sehingga beliau mengaitkan apabila shahih hadits maka itulah pendapatku. Atas dasar inilah, para ulama pengikut beliau meninggalkan beberapa pendapat jadid beliau dan malah berpegang kepada pendapat qadim, karena dalam qaul jadid yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan hadits hanyalah karena keraguan pada keshahihan hadits saja, sehingga setelah ulama setelah beliau melakukan analisa terhadap hadits tersebut dan di simpulkan bahwa hadits tersebut adalah hadits shahih maka mereka langsung berpegang kepada pendapat qadim karena mengamalkan wasiat beliau ini. Kita lihat penjelasan Imam Syarwani dalam hasyiah `ala Tuhfatul Muhtaj:
يعلم منه أنه حيث قال في شيء بعينه إذا صح الحديث في هذا قلت به وجب تنفيذ وصيته من غير توقف على النظر في وجود معارض؛ لأنه - رضي الله تعالى عنه - لا يقول ذلك إلا إذا لم يبق عنده احتمال معارض إلا صحة الحديث بخلاف ما إذا رأينا حديثا صح بخلاف ما قاله فلا يجوز لنا ترك ما قاله له حتى ننظر في جميع القوادح والموانع فإن انتفت كلها عمل بوصايته حينئذ وإلا فلا
Bisa di ketahui bahwa jika Imam Syafi berkata pada satu tempat “jika sahih hadits pada masalah ini saya akan berpendapat demikian” maka wajib di tunaikan wasiat Imam Syafii tersebut tanpa tawaquf pada dalil lain yang menentang (mu’aridh) karena Imam Syafii tidak mengucapkan demikian kecuali apabila tidak ada lagi kemungkinan ada mu`aridh kecuali hanya tentang sahnya hadits tersebut, dengan sebalik bila kita temukan satu hadit syang shahih maka tidak boleh bagi kita meninggalkan pendapat Imam Syafii sehingga kita tinjau kembali seluruh dalil mu’aridh dan qawadih dan segala mani`, bila memang semuanya tidak ada maka baru bisa di amalkan wasiat beliau tersebut, jika tidak demikian maka tidak boleh ..
(Imam Syarwani, Hasyiah Syarwani `ala Tuhfatul Muhtaj Jilid 3 Hal 481 Dar Fikr)

Ketentuan ini berlaku dalam semua Mazhab, Imam al-Qurafi dalam Syarah al-Mahshul setelah mengutip wasiat Imam Syafii tersebut berkata :

فإنه كان مراده مع عدم المعارض، فهو مذهب العلماء كافة وليس خاصاً به، وإن كان مع وجود المعارض فهذا خلاف الإجماع ...كثير من فقهاء الشافعية يعتمدون على هذا ويقولون: مذهب الشافعي كذا لأن الحديث صح فيه وهو غلط فإنه لا بد من انتفاء المعارض والعلم بعدم المعارض يتوقف على من له أهلية استقراء الشريعة حتى يحسن أن يقول لا معارض لهذا الحديث، وأما استقراء غير المجتهد المطلق فلا عبرة به

“Maksudnya adalah bila tidak ada dalil lain yang kontra. Ini adalah mazhab ulama seluruhnya bukan hanya khusus Mazhab Syafii. sedangkan bila ada dalil yang kontra maka hal ini adalah bertentangan dengan ijmak ulama…Banyak ulama fuqaha` Mazhab Syafii yang mencoba berpegang kepada perkataan Imam Syafii ini, mereka mengatakan ini adalah mazhab Syafii karena haditsnya shahih. Ini adalah hal yang salah karena harus tidak ada dalil lain yang kontra sedangkan untuk mengetahui tidak ada dalil yang kontra hanya mampu bagi kalangan yang memiliki kemampuan analisa syariat sehingga ia mantap menyatakan bahwa hadits ini tidak ada dalil lain yang kontra dengannya. Adapun analisa selain mujtahid mutlaq maka tidak di terima”. (al-Qurafi, Syarh Tanqih al-Fushul hal 450)

Imam Taqi as-Subki memberikan komentar mengenai syarat mengamalkan wasiat Imam Syafii yang di sebutkan oleh Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi :

وهذا الذى قالاه رضي الله عنهما ليس راد لما قاله الشافعى ولا لكونها فضيلة امتاز بها عن غيره ولكنه تبيين لصعوبة هذا المقام حتى لا يغتر به كل احد
perkataan keduanya (Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi) ini bukan berarti menolak perkataan Imam Syafii sendiri dan bukan pula karena wasiat ini merupakan satu kelebihan yang membedakan beliau dengan ulama lainnya tetapi ini merupakan penerangan bagi sulitnya kedudukan ini sehingga tidak akan ada orang yang tertipu dengannya. 
(as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 93)

Maka dari penjelasan para ulama-ulama yang kami kutip di atas, bisa kita lihat bahwa tidaklah serta merta ketika seseorang menemukan satu hadits shahih sedangkan pendapat Imam Syafii sebaliknya maka ia langsung mengklaim bahwa pendapat Imam salah dan harus mengamalkan seperti dhahir hadits. Selain itu perkataan Imam Syafii tersebut bukanlah berarti sebagai larangan taqlid kepada beliau, sebagaimana sering di dengungkan oleh kalangan “anti taqlid kepada Imam mujtahid”. Murid-murid Imam Syafii yang belajar langsung kepada beliau masih taqlid kepada beliau, kemudian mereka juga mengajarkan fiqh Mazhab Syafii kepada murid-murid mereka sehingga mazhab Syafii tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bila Imam Syafii semasa hidup beliau telah melarang taqlid kepada beliau tentunya mazhab beliau tidak akan tersebar, karena para murid-murid beliau tidak mengajarkan mazhab beliau tetapi mazhab mereka masing-masing. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa Imam Syafii melarang taqlid kepada beliau hanya muncul belakangan semenjak lahirnya kaum anti taqlid kepada Imam Mujtahid. 
Perlu di ingatkan bahwa ajakan berpegang kepada al-qur-an dan hadits langsung dan meninggalkan pendapat mujtahid merupakan yang hal berbahaya, karena nantinya setiap insan akan berani memahami ayat dan hadits dengan kepala mereka sendiri dengan sangkaan bahwa ilmu mereka cukup cukup untuk berijtihad, padahal ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam Nawawi, Rafii dan Ibnu Hajar al-Haitami dan ulama besar lainnya ternyata masih bertaqlid kepada mazhab Syafii.
Pada hakikatnya, ajakan kembali kepada al-quran dan hadits hanyalah ajakan untuk mengikuti pemahaman al-quran menurut mereka yang berarti mengajak untuk taqlid kepada mereka semata dan meninggalkan taqlid kepada para imam mazhab yang telah di ikuti oleh umat ratusan tahun lamanya. Makanya di sini kami menyebutkan mereka dengan golongan “anti taqlid kepada Imam Mujtahid” karena ketika mereka mengajak meninggalkan mazhab dan menawarkan solusi kembali kepada al-quran dan hadits, ternyata penafsiran al-quran dan hadits yang mereka tawarkan adalah penafsiran versi mereka, artinya akan terjatuh kepada taqlid kepada mereka juga.


معنى قول الشافعي إذا صح الحديث فهو مذهبي
قال الإمام النووي رحمه الله في مقدمة شرحه على الوسيط للغزالي :
(صح عن الشافعي رحمه الله أنه قال: إذا وجدتم في كتابي هذا خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولو بالسنة ودعوا قولي)
وفي رواية )إذا صح الحديث خلاف قولي، فاعملوا بالحديث واتركوا قولي) أو قال( فهو مذهبي)
ورووا هذا المعنى بألفاظ مختلفة. وقد عمل بهذا أصحابنا في مسألة التثويب واشتراط التحلل في الإحرام بعذر المرض، وغيرهما من المسائل المعروفة في كتب المذهب.
وممن حُكي عنه من أصحابنا الإفتاء على مذهب الشافعي بالحديث نصه أبو يعقوب البويطي وأبو القاسم الداركي وممن نص عليه الإمام أبو الحسن الكيا الهراسي صاحب إمام الحرمين في كتابه في الأصول وصرح أصحابنا الجامعون بين الفقه والحديث باستعماله، ولم يقع ذلك إلا نادرا في مسائل قليلة، ومنه ما للشافعي فيه قول على وفق الحديث، وهذا الذي قاله الشافعي ليس معناه أن كل من رأى حديثا صحيحا قال: هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره، وإنما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذاهب أو قرب منه، وشرطه أن يكون له خبرة بالأحاديث بحيث يغلب على ظنه أنه لا يعارضه حديث يترجح عليه، وأن يغلب على ظنه أن الشافعي لم يقف أو لم يعلم بصحته وهذا إنما يكون بعد مطالعته كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب الآخذين عنه، وسائر أصحابه، وهذا شرط صعب قل من يتصف به وانما شرطوا ما ذكرناه، لأن الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها، لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك.
قال الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله: " ليس العمل بظاهر ما قاله الشافعي بالهين، فليس كل فقيه له الاستقلال بالعمل بما يراه حجة من الحديث، وممن سلك هذا المسلك من الشافعيين من عمل بحديث تركه الشافعي عمدا مع علمه بصحته لمانع اطلع عليه وخفي على غيره كأبي الوليد موسى بن أبي الجارود صاحب الشافعي قال صح حديث "أفطر الحاجم والمحجوم" فردوا ذلك على أبي الوليد لأن الشافعي تركه مع علمه بصحته لكونه منسوخا عنده وبيّن الشافعي نسخه واستدل عليه.
وقد روينا عن إمام الأئمة أبي بكر محمد بن اسحاق بن خزيمة أنه قال: " لا أعلم سنة صحيحة لرسول الله صلى الله عليه وسلم لم يودعها الشافعي كتبه"
وجلالة ابن خزيمة وإمامته في الحديث والفقه ومعرفته بكتب الشافعي بالمحل المعروف فإنه أحد ملازمي المزني.
قال الشيخ أبو عمرو ابن الصلاح: " فمن وجد من الشافعية حديثا يخالف مذهبه فإن كملت شرائط الاجتهاد فيه مطلقا، أو في ذلك الباب أو المسألة استقل بالعمل به، وأن لم تكمل وشق عليه مخالفة الحديث بعد أن بحث فلم يجد جوابا شافيا فله العمل به إن كان عمل به إمام مستقل غير الشافعي وكون هذا له عذرا في ترك مذهب إمامه هنا وهذا الذي قاله حسن متعين. والله أعلم.

Nahwu

Kapan harokat alif / hamzah pada "ان " dibaca kasroh ? HAMZAH INNA WAJIB KASRAH :
فَاكْسِرْ فِي الابْتِدَا وَفِي بَدْءِ صِلَهْ وَحَيْثُ إِنَّ لِيَمِينٍ مُكْمِلَهْ
Kasrahkanlah (terhadap hamzahnya INNA): 
(1) berada di permulaan kalam, 
(2) berada di permulaan jumlah shilah (shilah mausul) 
(3) sekiranya Inna dipandang sempurna sebagai jawab bagi kata sumpah (menjadi jawab qosam baik khobarnya ada lam ibtida’ atau tidak).
أَوْ حُكِيَتْ بِالْقَوْلِ أَوْ حَلَّتْ مَحَلَّ حَالٍ كَزُرْتُهُ وَإِنِّي ذُو أَمَلْ
Atau (4) diceritakan dengan qaul (menjadi jumlah mahkiyah dari kata qoul), 
atau (5) menempati di tempatnya haal (jumlah inna menjadi haal) seperti: Zirtu hu wa inniy dzu amal “aku mengunjunginya sebagai orang yg berharap/punya kebutuhan).
وَكَسَرُوا مِنْ بَعْدِ فِعْلٍ عُلِّقَا بِالَّلاَمِ كَاعْلَمْ إنَّهُ لَذُو تُقَى
Dan (6) mereka mengkasrahkan (hamzah inna) berada setelah fi’il yang digantungkan dengan lam ibtida’ (sebagian fi’il dari af’aalul quluub yg menyertai lam ibtida) seperti: I’lam innahuu la dzuu tuqoo “ketahuilah bahwa dia itu orang yang mempunyai ketakwaan”. Wallohu a'lam. [Santrialit].
CONTOH HAMZAH INNA WAJIB KASRAH:
1. Permulaan kalam (INNA ZAIDAN QOOIMUN)
2. Shilah maushul (JAA-A ALLADZI INNA HU QOOIMUN)
3. Jawab qosam (WALLAAHI INNA ZAIDAN QOOIMUN)
4. Mahkiyah qoul (QOOLA INNA ZAIDAN QOOIMUN)
5. Haal (JAA-A ZAIDUN WA INNA HU QOOIMUN)
6. Setelah fi’il qulub dengan lam taukid (I’LAM INNA ZAIDAN LA QOOIMUN)
- I'rob lafadz " لبيك "

محاولة للإعراب :

لبيك : نائب عن المصدر " مفعول مطلق " بمعنى ألبي طلبك تلبية بعد تلبية " هذه تشبه قولنا : لبيك اللهم لبيك " فقسناها عليها ، لفعل محذوف منصوب وعلامة نصبه الياء ؛ لأنه جاء على صورة المثنى وهو مضاف ، والكاف : ضمير متصل مبني على الفتح في محل جر مضاف إليه . أي العامل محذوف سماعيا وناب عنه المصدر

Khutbah Nikah

 
Khutbah Nikah
 
ألحمد لله الذي احل النكاح وحرم السفاح احمدُه سبحانَه ان خلَق من الماء بشرا فجعله نسبا وصهرا, و اشكرُه انْ خلَق لنا مِن انفسنا ازواجا لنَسْكُن اليها وجعل بيننا مودة ورحمة. واشهد ان لااله الا الله لاشريك له مَبْدَع نِظام العالم على اكملِ حكمة, واشهد ان محمدا عبدُه ورسوله خيرُ ائمةِ الامة. اللهم فصل وسلم على حبيبنا و قرة اعيننا سيدنا محمد الذي ادّب و عامَل اهلَه وامتَه بالاخلاق الكريمة وعلي اله و اصحابه ذوي الفضائل والكرامة.
اما بعد فيا ايها الاخوة رحمكم الله,
اتقوا الله واعلموا ان النكاح سنة من سنن الرسول صلى الله عليه وسلم وقد قال الله تعالى في كتابه الكريم, اعوذ بالله من الشيطان الرجيم وانكحوا الايامى منكم والصالحين من عبادكم و امائكم. اِن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله والله واسع عليم.
وعقد النكاح, ايها الاخوة, ميثاق غليظ كما سماه الله تعالى في كتابه وهو ليس مجرد مَسَايِرَة التقاليد البشرية ولا محضَ وسيلةِ للتناسل اِشْبَاعا لهوى النفس واَرْوَاءً للشهوات الحيوانية و انما هو مسؤلية.
Segala puji bagi Allah yang telah menghalalkan nikah dan mengharamkan zina. Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dari air lalu menjadikannya berketurunan dan berbesanan. Dan kita bersyukur Allah telah menciptakan untuk kita, dari jenis kita sendiri, jodoh-jodoh agar kita condong-tenteram kepada mereka dan menjadikan cinta dan kasih sayang di antara kita.
Shalawat dan salam semoga Ia limpahkan kepada pemimpin agung kita nabi Muhammad SAW yang telah mencontohkan pergaulan hidup antar sesama maupun keluarga dengan budi pekerti yang luhur. Shalawat dan salam semoga Ia limpahkan pula kepada keluarga Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia.
Amma ba’du;
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang berbahagia, marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dan ketahuilah bahwa pernikahan itu merupakan salah satu sunnah Rasul SAW dan merupakan anjuran agama. Pernikahan yang disebut dalam Quran sebagai perjanjian agung, bukanlah sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi, bukan semata-mata sarana mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai penyaluran libido seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka.  Penikahan adalah amanah dan  tanggungjawab. Pernikahan adalah sorga bagi pasangan yang bertanggungjawab dan melaksanakan amanah.
فال النبي صلى الله عليه وسلم: استوصوا بالنساء خيرا فانما هن عندكم وديعة وانما هن كاَسْرى بين ايد يكم وانما اخذتموهن بامانة الله واستحللتموهن بكلمة الله. فعاشروهن بالمعروف ولاتظلموهن وقوموا بحقهن.
وقَال صلواته وسلامه عليه فيما قال عن مسؤلية كلِّنا: ... والرجُل راعٍ في اهله وهو مسؤل عن رعيته والمراْة راعية في بيت زوجها وهي مسؤلة عن رعيتها.
فالرجل مُلْزِم بوفاء حقوقِ اهله و اولاده واهمُّها المُعاشرة بالمعروف. والمرا ة مطالِبَةُ بطاعةِ زوجِها وتدبيرِ امورَ بَيتِها.
وكلٌ من الزوجين يحمِل مسؤليةَ نجاحِ زواجهما لنيل رضا مولاهما تعالى. وذلك مُتَيَسِّرٌلهما اذا كان كل منهما ينظر ويَرْعَى دائما الى ما عليه من الواجبات لزوجه اكثَرُ مما ينظر ويرْعى الى ماله منَ الحقوق عليه.
Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya: “Perhatikanlah baik-baik istri-istri kalian. Mereka di samping kalian ibarat titipan, amanat yang harus kalian jaga. Mereka kalian jemput melalui amanah Allah dan kalimahNya. Maka pergaulilah mereka dengan baik, jangan kalian lalimi, dan penuhilah hak-hak mereka.”
Ketika berbicara tentang tanggungjawab kita, Rasulullah SAW antara lain juga menyebutkan bahwa “suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah penggembala dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas gembalaannya.”
Begitulah; laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam sebuah pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan kewajiban.
Suami wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya, di antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan baik. Isteri dituntut untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumahtangganya.
Masing-masing dari suami-isteri memikul tanggung jawab bagi keberhasilan perkawinan mereka untuk mendapatkan ridha Tuhan mereka. Apabila masing-masing lebih memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya daripada menuntut haknya saja, insya Allah keharmonisan dan kebahagian hidup mereka akan lestari sampai Hari Akhir. Sebaliknya apabila masing-masing hanya melihat haknya sendiri karena merasa memiliki kelebihan atau melihat kekurangan dari yang lain, maka kehidupan mereka akan menjadi beban yang sering kali tak tertahankan.
Masing-masing, laki-laki dan perempuan, secara fitri mempunyai kelebihan dan kekurangannnya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu bukan untuk diperbanggakan atau diperirikan. Kekurangan-kekurang pun bukan untuk diperejekkan atau dibuat merendahkan. Tapi semua itu merupakan peluang bagi kedua pasangan untuk saling melengkapi.
وعليهما معا ان يجاهدا في بناء الاسرة باخلاق الاسلام والحفظِ على سلامتها واستقامتها على الدوام . وبذلك تكون السعادة في الدارين ان شاء الله.
Kedua suami-isteri hendaklah bersama-sama berjuang membangun kehidupan keluarga mereka dengan akhlak Islam dan menjaga keselamatan dan keistiqamahannya selalu. Dengan demikian akan terwujudlah kebahagian hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, Insya Allah.
اقول قولي هذا واستغفر الله العظيم لي ولكم ولوالدي ولوالديكم ولمشايخي ومشايخكم ولسائر المسلمين. فاستغفروه انه هو الغفور الرحيم.
استغفر الله العظيم x 3
اشهد ان لا اله الا الله و اشهد ان محمدا رسول الله x 3

keutamaan menulis dan membaca Bismillahirrahmanirahim

keutamaan2 menulis dan  membaca Bismillahirrahmanirahim, itu seperti terdapat dalam kitabnya Syekh Imam Nawawi Al-Bantani yang berjudul Tanqihul Qaulil Hatsits bi Syarhi Lubabil Hadits Lil Imami Asy-Syuyuthi.
{الباب الثالث: في فضيلة بسم الله الرحمن الرحيم}
Bab III : Dalam menjelaskan tentang Keutamaan Bismillahirrahmanirrahim 
... sampai pada kalimat (sabda nabi) :
(وقال صلى الله عليه وسلم إذَا كَتَبَ أحَدُكُمْ بِسْمِ الله الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ) أي إذا أراد أن يكتبها (فَلْيَمُدَّ الرَّحْمانَ) أي حروفه بأن يمد اللام والميم ويجوف النون ويتأنق، أي يحسن في ذلك رواه الخطيب والديلمي عن أنس بن مالك.
Rosulullah SAW bersabda : ' ketika kalian menuliskan Bismillahirrahmanirrahim maka panjangkanlah tulisan Arrahman ( Huruf Arrahman itu dengan memanjangkan Lam dan Mimnya dan membaguskan penulisannnya ). sebagaimana keterangan yang diriwayatkan oleh Imam Al-Khotib dab Dailamy dari Imam Anas bin Malik.
Demikian juga keterangan dalam kitab Itqon fii 'ulumil qur'an :
وأخرج ابن أشتة ، عن عمر بن عبد العزيز : أنه كتب إلى عماله : إذا كتب أحدكم ( بسم الله الرحمن الرحيم فليمد الرحمن .
وأخرج عن زيد بن ثابت : أنه كان يكره أن تكتب بسم الله الرحمن الرحيم ليس لها سين .
Dalam Al-taisir bi syarhi al jami'i al shoghir (Imam Munawi) 1/252 :
إذا كتب أحدكم بسم الله الرحمن الرحيم ) أي أراد أن يكتبها ( فليمد ) حروف ( الرحمن ) بأن يمد اللام والميم ويجوف النون ويتأنق في ذلك ( خط في ) كتاب ( الجامع ) في آداب المحدث والسامع ( فر ) كلاهما ( عن أنس ) بن مالك وفيه ضعف
( إذا كتبت بسم الله الرحمن الرحيم ) أي أردت كتابتها ( فبين السين فيه ) أي أظهرها ووضح سننها إجلالا لاسم الله ( خط ) في ترجمة ذي الرياستين ( وابن عساكر ) في تاريخه ( عن زيد بن ثابت ) بن الضحاك النجاري وهو ضعيف
http://islamport.com/d/1/srh/1/9/165.html
Salah satu cara mengagungkan kalam Allah, dalam hal ini lafadz BASMALAH, yaitu dengan penulisan yang bagus (ditulis dengan cara yang baik,benar dan bagus).
Dan penulisan itu kurang lebihnya seperti berikut
الـــــرحمــــن
penulisan huruf LAM nya dipanjangkan, demikian juga MIM nya. Wallohu a'lam

Hadits Dajjal dan Nabi Isa AS

hadits tentang al mahdi, hadits tentang dajjal dan hadits tentang turunnya nabi Isa, semuanya telah mencapai derajat mutawatir tanpa ada kesamaran bagi orang yang punya keutama'an dalam mutola'ah. Syaikh Abul hasan al khos'i dalam manaqib as syafi'i berkata bahwa hadis tentang al mahdi sebagai umat ini dan Nabi isa sholat di belakang imam mahdi telah mencapai derajat mutawatir. Wallohu a'lam bis showab.
REFERENSI :
- kitab fathul bary (6/569) :
وقال أبو الحسن الخسعي الآبدي في مناقب الشافعي : تواترت الأخبار بأن المهدي من هذه الأمة وأن عيسى يصلي خلفه ، ذكر ذلك ردا للحديث الذي أخرجه ابن ماجه عن أنس وفيه ولا مهدي إلا عيسى
- kitab al bidayah wan nihayah :
الثالث : أنه لم يذكر بصريح اسمه في القرآن احتقارا له ، حيث إنه يدعي الإلهية وهو بشر ، وهو مع بشريته ناقص الخلق ينافي حاله جلال الرب وعظمته وكبرياءه وتنزيهه عن النقص ، فكان أمره عند الرب أحقر من أن يذكر ، وأصغر ، وأدحر من أن يجلى عن أمر دعواه ويحذر ، ولكن انتصر الرسل لجناب الرب ، عز وجل ، فجلوا لأممهم عن أمره ، وحذروهم ما معه من الفتن المضلة ، والخوارق المنقضية المضمحلة ، فاكتفى بإخبار الأنبياء ، وتواتر ذلك عن سيد ولد آدم إمام الأتقياء عن أن يذكر أمره الحقير بالنسبة إلى جلال الله ، في القرآن العظيم
- kitab aunul ma'bud syarah abu dawud :
وقال الشوكاني في رسالته المسماة بالتوضيح في تواتر ما جاء في الأحاديث في المهدي والدجال والمسيح : وقد ورد في نزول عيسى صلى الله عليه وسلم من الأحاديث تسعة وعشرون حديثا ، ثم سردها وقال بعد ذلك : وجميع ما سقناه بالغ حد التواتر كما لا يخفى على من له فضل اطلاع ، فتقرر بجميع ما سقناه أن الأحاديث الواردة في المهدي المنتظر متواترة ، والأحاديث الواردة في الدجال متواترة ، والأحاديث الواردة في نزول عيسى عليه السلام متواترة . انتهى