إذا صح الحديث فهو مذهبي
"Apabila shaheh hadits maka itulah mazhabku".
Imam Syafi’i merupakan nama yang tidak asing lagi di telinga kita,
terlebih lagi umat Islam Asia Tenggara umumnya merupakan penganut Mazhab
beliau dalam bidang fiqh. Banyak mutia kalam Imam Syafii yang dikutip
para ulama sesudahnya baik dalam ranah fiqh maupun lainnya.
Wasiat beliau ini banyak di salah artikan, di mana banyak kalangan yang
dengan mudahnya menyatakan bahwa pendapat Imam Syafii hanya dapat di
amalkan bila sesuai dengan hadits shahih, sehingga saat ia menemukan
satu hadits shahih maka ia langsung berpegang kepada dhahir hadits dan
melarang mengikuti pendapat Imam Syafii dengan alasan mengamalkan wasiat
Imam Syafii. Bahkan mereka menjadikan wasiat Imam Syafii ini sebagai
hujjah tercelanya taqlid, mereka mengartikan wasiat ini sebagai larangan
dari Imam Syafii untuk taqlid kepada beliau. Oleh karena itu kami
tertarik ingin mengupas masalah ini.
Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat Imam Syafii,
tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki
maksud yang sama. Lalu bagaimana sebenarnya maskud wasiat Imam Syafii
ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih
bertentangan dengan pendapat Imam Syafii maka pendapat Imam Syafii tidak
dapat di terima. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya
sejauh mana keilmuan Imam Syafii, terutama dalam penguasaan ilmu
hadits.
Ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’
terhadap wasiat Imam Syafii tersebut. Imam Nawawi mengatakan :
وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب
الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما
تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم
يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب
الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل
من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر
أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو
تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك
“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafii ini adalah setiap orang yang
melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafii
dan langsung mengamalkan dhahir hadits. Wasiat ini hanya di tujukan
kepada orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam mazhab
sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid
atau mendekatinya. syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan
wasiat Imam Syafii tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam
Syafii tidak mengetahui hadits tersebut atau tidak mengetahui kesahihan
haditsnya. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam
Syafii dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau.
Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang
memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafii
mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan
beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya
hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil
atau lain semacamnya”.
(Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64)
Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana
kedudukan wasiat Imam Syafii tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa
dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi
sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan.
Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafii ini dengan kata beliau
وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث
“tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”.
(Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah)
Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafii tentang hadits yang sangat
luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu
hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafii
tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti
ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam
Syafii meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang
mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits
tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat
mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai
kitab-kitab Imam Syafii dan shahabat beliau. Imam Nawawi yang hidup di
abad ke 6 hijriyah mengakui sulitnya mendapati orang yang mencapai
derajat ini.
Tentang wawasan Imam Syafii dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam
kitab Tarikh Dimasyqi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal :
ما أحد يعلم في الفقه كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي
“tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya
sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafii”
. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr)
Imam Ahmad bin Hanbal juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafii memiliki
hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi
bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada
seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad :
يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث
“Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal), tidak ada hadits shahih
dalam masalah ini.”
Imam Ahmad menjawab :
إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه
“Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan
Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.”
(Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr)
Dalam sejarah ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam
Syafii tersebut seperti Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid
an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang berbekam dan yang dibekam
batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i yang mengatakan
bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak
karena ternyata Imam Syafii meninggalkan hadits ini karena menurut Imam
Syafii hadits ini adalah mansukh. Demikian juga dengan beberapa ulama
Mazhab Syafii yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafii yang
menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan
qunut merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk
setelah mendapati bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat
dan tidak menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul
Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95)
Imam Syafii juga mengucapkan wasiat ini pada beberapa masalah di mana
yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan
hadits hanyalah keshahihan hadits tersebut yang masih beliau ragukan,
sehingga beliau mengaitkan apabila shahih hadits maka itulah pendapatku.
Atas dasar inilah, para ulama pengikut beliau meninggalkan beberapa
pendapat jadid beliau dan malah berpegang kepada pendapat qadim, karena
dalam qaul jadid yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat
sesuai dengan hadits hanyalah karena keraguan pada keshahihan hadits
saja, sehingga setelah ulama setelah beliau melakukan analisa terhadap
hadits tersebut dan di simpulkan bahwa hadits tersebut adalah hadits
shahih maka mereka langsung berpegang kepada pendapat qadim karena
mengamalkan wasiat beliau ini. Kita lihat penjelasan Imam Syarwani dalam
hasyiah `ala Tuhfatul Muhtaj:
يعلم منه أنه حيث قال في شيء بعينه إذا صح الحديث في هذا قلت به وجب تنفيذ
وصيته من غير توقف على النظر في وجود معارض؛ لأنه - رضي الله تعالى عنه -
لا يقول ذلك إلا إذا لم يبق عنده احتمال معارض إلا صحة الحديث بخلاف ما إذا
رأينا حديثا صح بخلاف ما قاله فلا يجوز لنا ترك ما قاله له حتى ننظر في
جميع القوادح والموانع فإن انتفت كلها عمل بوصايته حينئذ وإلا فلا
Bisa di ketahui bahwa jika Imam Syafi berkata pada satu tempat “jika
sahih hadits pada masalah ini saya akan berpendapat demikian” maka wajib
di tunaikan wasiat Imam Syafii tersebut tanpa tawaquf pada dalil lain
yang menentang (mu’aridh) karena Imam Syafii tidak mengucapkan demikian
kecuali apabila tidak ada lagi kemungkinan ada mu`aridh kecuali hanya
tentang sahnya hadits tersebut, dengan sebalik bila kita temukan satu
hadit syang shahih maka tidak boleh bagi kita meninggalkan pendapat Imam
Syafii sehingga kita tinjau kembali seluruh dalil mu’aridh dan qawadih
dan segala mani`, bila memang semuanya tidak ada maka baru bisa di
amalkan wasiat beliau tersebut, jika tidak demikian maka tidak boleh ..
(Imam Syarwani, Hasyiah Syarwani `ala Tuhfatul Muhtaj Jilid 3 Hal 481 Dar Fikr)
Ketentuan ini berlaku dalam semua Mazhab, Imam al-Qurafi dalam Syarah
al-Mahshul setelah mengutip wasiat Imam Syafii tersebut berkata :
فإنه كان مراده مع عدم المعارض، فهو مذهب العلماء كافة وليس خاصاً به، وإن
كان مع وجود المعارض فهذا خلاف الإجماع ...كثير من فقهاء الشافعية يعتمدون
على هذا ويقولون: مذهب الشافعي كذا لأن الحديث صح فيه وهو غلط فإنه لا بد
من انتفاء المعارض والعلم بعدم المعارض يتوقف على من له أهلية استقراء
الشريعة حتى يحسن أن يقول لا معارض لهذا الحديث، وأما استقراء غير المجتهد
المطلق فلا عبرة به
“Maksudnya adalah bila tidak ada dalil lain yang kontra. Ini adalah
mazhab ulama seluruhnya bukan hanya khusus Mazhab Syafii. sedangkan bila
ada dalil yang kontra maka hal ini adalah bertentangan dengan ijmak
ulama…Banyak ulama fuqaha` Mazhab Syafii yang mencoba berpegang kepada
perkataan Imam Syafii ini, mereka mengatakan ini adalah mazhab Syafii
karena haditsnya shahih. Ini adalah hal yang salah karena harus tidak
ada dalil lain yang kontra sedangkan untuk mengetahui tidak ada dalil
yang kontra hanya mampu bagi kalangan yang memiliki kemampuan analisa
syariat sehingga ia mantap menyatakan bahwa hadits ini tidak ada dalil
lain yang kontra dengannya. Adapun analisa selain mujtahid mutlaq maka
tidak di terima”. (al-Qurafi, Syarh Tanqih al-Fushul hal 450)
Imam Taqi as-Subki memberikan komentar mengenai syarat mengamalkan
wasiat Imam Syafii yang di sebutkan oleh Imam Ibnu Shalah dan Imam
Nawawi :
وهذا الذى قالاه رضي الله عنهما ليس راد لما قاله الشافعى ولا لكونها فضيلة
امتاز بها عن غيره ولكنه تبيين لصعوبة هذا المقام حتى لا يغتر به كل احد
perkataan keduanya (Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi) ini bukan berarti
menolak perkataan Imam Syafii sendiri dan bukan pula karena wasiat ini
merupakan satu kelebihan yang membedakan beliau dengan ulama lainnya
tetapi ini merupakan penerangan bagi sulitnya kedudukan ini sehingga
tidak akan ada orang yang tertipu dengannya.
(as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 93)
Maka dari penjelasan para ulama-ulama yang kami kutip di atas, bisa kita
lihat bahwa tidaklah serta merta ketika seseorang menemukan satu hadits
shahih sedangkan pendapat Imam Syafii sebaliknya maka ia langsung
mengklaim bahwa pendapat Imam salah dan harus mengamalkan seperti dhahir
hadits. Selain itu perkataan Imam Syafii tersebut bukanlah berarti
sebagai larangan taqlid kepada beliau, sebagaimana sering di dengungkan
oleh kalangan “anti taqlid kepada Imam mujtahid”. Murid-murid Imam
Syafii yang belajar langsung kepada beliau masih taqlid kepada beliau,
kemudian mereka juga mengajarkan fiqh Mazhab Syafii kepada murid-murid
mereka sehingga mazhab Syafii tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bila
Imam Syafii semasa hidup beliau telah melarang taqlid kepada beliau
tentunya mazhab beliau tidak akan tersebar, karena para murid-murid
beliau tidak mengajarkan mazhab beliau tetapi mazhab mereka
masing-masing. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa Imam
Syafii melarang taqlid kepada beliau hanya muncul belakangan semenjak
lahirnya kaum anti taqlid kepada Imam Mujtahid.
Perlu di ingatkan bahwa ajakan berpegang kepada al-qur-an dan hadits
langsung dan meninggalkan pendapat mujtahid merupakan yang hal
berbahaya, karena nantinya setiap insan akan berani memahami ayat dan
hadits dengan kepala mereka sendiri dengan sangkaan bahwa ilmu mereka
cukup cukup untuk berijtihad, padahal ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam
Nawawi, Rafii dan Ibnu Hajar al-Haitami dan ulama besar lainnya
ternyata masih bertaqlid kepada mazhab Syafii.
Pada hakikatnya, ajakan kembali kepada al-quran dan hadits hanyalah
ajakan untuk mengikuti pemahaman al-quran menurut mereka yang berarti
mengajak untuk taqlid kepada mereka semata dan meninggalkan taqlid
kepada para imam mazhab yang telah di ikuti oleh umat ratusan tahun
lamanya. Makanya di sini kami menyebutkan mereka dengan golongan “anti
taqlid kepada Imam Mujtahid” karena ketika mereka mengajak meninggalkan
mazhab dan menawarkan solusi kembali kepada al-quran dan hadits,
ternyata penafsiran al-quran dan hadits yang mereka tawarkan adalah
penafsiran versi mereka, artinya akan terjatuh kepada taqlid kepada
mereka juga.
Dikutip dari : http://azharnasri.blogspot.com/.../wasiat-imam-syafii...
معنى قول الشافعي إذا صح الحديث فهو مذهبي
قال الإمام النووي رحمه الله في مقدمة شرحه على الوسيط للغزالي :
(صح عن الشافعي رحمه الله أنه قال: إذا وجدتم في كتابي هذا خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولو بالسنة ودعوا قولي)
وفي رواية )إذا صح الحديث خلاف قولي، فاعملوا بالحديث واتركوا قولي) أو قال( فهو مذهبي)
ورووا هذا المعنى بألفاظ مختلفة. وقد عمل بهذا أصحابنا في مسألة التثويب
واشتراط التحلل في الإحرام بعذر المرض، وغيرهما من المسائل المعروفة في كتب
المذهب.
وممن حُكي عنه من أصحابنا الإفتاء على مذهب الشافعي بالحديث نصه أبو يعقوب
البويطي وأبو القاسم الداركي وممن نص عليه الإمام أبو الحسن الكيا الهراسي
صاحب إمام الحرمين في كتابه في الأصول وصرح أصحابنا الجامعون بين الفقه
والحديث باستعماله، ولم يقع ذلك إلا نادرا في مسائل قليلة، ومنه ما للشافعي
فيه قول على وفق الحديث، وهذا الذي قاله الشافعي ليس معناه أن كل من رأى
حديثا صحيحا قال: هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره، وإنما هذا فيمن له رتبة
الاجتهاد في المذاهب أو قرب منه، وشرطه أن يكون له خبرة بالأحاديث بحيث
يغلب على ظنه أنه لا يعارضه حديث يترجح عليه، وأن يغلب على ظنه أن الشافعي
لم يقف أو لم يعلم بصحته وهذا إنما يكون بعد مطالعته كتب الشافعي كلها
ونحوها من كتب الآخذين عنه، وسائر أصحابه، وهذا شرط صعب قل من يتصف به
وانما شرطوا ما ذكرناه، لأن الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث
كثيرة رآها وعلمها، لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها
أو تأويلها أو نحو ذلك.
قال الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله: " ليس العمل بظاهر ما قاله
الشافعي بالهين، فليس كل فقيه له الاستقلال بالعمل بما يراه حجة من الحديث،
وممن سلك هذا المسلك من الشافعيين من عمل بحديث تركه الشافعي عمدا مع علمه
بصحته لمانع اطلع عليه وخفي على غيره كأبي الوليد موسى بن أبي الجارود
صاحب الشافعي قال صح حديث "أفطر الحاجم والمحجوم" فردوا ذلك على أبي الوليد
لأن الشافعي تركه مع علمه بصحته لكونه منسوخا عنده وبيّن الشافعي نسخه
واستدل عليه.
وقد روينا عن إمام الأئمة أبي بكر محمد بن اسحاق بن خزيمة أنه قال: " لا
أعلم سنة صحيحة لرسول الله صلى الله عليه وسلم لم يودعها الشافعي كتبه"
وجلالة ابن خزيمة وإمامته في الحديث والفقه ومعرفته بكتب الشافعي بالمحل المعروف فإنه أحد ملازمي المزني.
قال الشيخ أبو عمرو ابن الصلاح: " فمن وجد من الشافعية حديثا يخالف مذهبه
فإن كملت شرائط الاجتهاد فيه مطلقا، أو في ذلك الباب أو المسألة استقل
بالعمل به، وأن لم تكمل وشق عليه مخالفة الحديث بعد أن بحث فلم يجد جوابا
شافيا فله العمل به إن كان عمل به إمام مستقل غير الشافعي وكون هذا له عذرا
في ترك مذهب إمامه هنا وهذا الذي قاله حسن متعين. والله أعلم.